Thursday, September 29, 2005

Itinerary

Senja hanya beranjak kecil dari siang dan malam beringsut perlahan ke pagi.
“Berapa lama kita di sini?”
Sebentar lagi hujan akan turun, sebentar lagi akan turun hujan.
“Berapa lama kita menunggu di sin?”
Tadi aku tidur, tadi baru saja aku bangun.
“Berapa lama lagi kita menunggu terus di sini?”
Burung-burung berarak pergi ke musimnya, awan berarak membawa kembali musimnya.
“Berapa lama lagi kita akan menunggu terus di sini?”

“Berapa lama kau mau menunggu? Sebentar kita akan berangkat”

Menjelang Siang di Baranangsiang

(Cerita pertama seri ceceran kisah sepanjang Bogor-Jakarta)

Mendung bukan hal aneh di tempat ini. Bukan hal aneh bagi kota yang katanya kota hujan ini. Hujan rintik, hujan tanpa mendung, hujan sehari semalam, hujan semenit, hujan dahsyat yang merontokkan pohon-pohon besar peninggalan jalur Anyer-Panarukannya Daendles, semua jenis hujan pernah aku rasakan. Mungkin karena hujan ini, cintaku pada kota ini sedikit pun tak pernah kering. Seperti juga hujan pagi ini, hujan sisa semalam. Hujan yang tak deras tak rintik yang bisa bertahan hingga siang nanti.

Di tempat ini, tempat yang akan melepaskan warga kotanya pergi ke kota lain. Kota tetangga yang jauh lebih besar, kota yang tak sesepi kotaku bila malam mulai larut. Entah sudah berapa lama aku menikmati pemandangan seperti ini. Orang-orang yang tergesa menaiki bis sambil melirik jam tangan, tapi sesampai di dalam bis hanya bisa pasrah. Karena, bis-bis di sini hanya akan berangkat dengan 2 cara. Satu, kalau bis sudah benar-benar penuh sampai ada yang berdiri. Kedua, kalau petugas terminal sedang galak memerintahkan bis untuk berangkat meski bis baru terisi setengah.

Atau sebaliknya, aku menyaksikan orang-orang yang begitu bebas, yang tak pernah menengok jam tangan mereka. Dengan santai membeli koran dulu, merokok di pintu bis, naik bis lalu melanjutkan baca korannya. Santai sekali. Sebagian dari mereka memakai seragam karyawan kantor departemen. Aku ingin kerja seperti mereka.

Aku kenal hampir semua wajah yang keluar dan masuk terminal ini. Beberapa bahkan aku kenal namanya siapa, dimana kerjanya, rumahnya di sebelah mana kota ini. Aku bahkan tahu persis perubahan wajah mereka dari hari ke harinya. Bagaimana wajah mereka saat berangkat naik ke bis di Jumat pagi. Wajah mereka saat bis keluar terminal Senin pagi. Bagaimana wajah Kang Abdu yang sumringah pasti semalam dapat ‘jatah’ dari istrinya. Bagaimana wajah Teh Anti yang dengan rambut keriap basah berjalan merunduk naik ke dalam bis dan akan terus seperti itu sampai ia turun dari bis lagi malam harinya. Aku pikir, Teh Anti persis kebalikannya Kang Abdu. Aku berpikir, Teh Anti yang murung begitu pasti harus kasih ‘jatah’ buat suaminya semalam.

Sebenarnya aku tak tahu persis. Tapi, godaan untuk menerka-menerka dan membayangkan apa yang terjadi pada orang-orang yang hampir setiap hari aku temui memang begitu besar. Ya, aku nyaris kenal mereka semua. Tentu saja. Kota ini hanya kota kecil saja. Dan aku... aku hanyalah salah satu wajah yang harus mereka temui setiap hari di terminal ini. Wajah lecekku, dandanan lucuh dengan gitar seadanya dan suara sekenanya.

Aku hanyalah salah satu dari sekian orang yang setiap pagi mereka nafkahi lima ratus atau seribu rupiah untuk menemani mereka tidur sepanjang perjalanan yang tanggung ini. Tidak lama, dibilang singkat pun tidak. Tidak jelas sekali sebenarnya, mereka tidur karena suaraku, karena suara mesin yang lebih besar dari suaraku, atau karena sekedar tertidur oleh kebosanan hidup yang tak terhindarkan.

Kadang aku ingin bisa hidup semapan mereka, tapi lebih sering merasa takut menatap wajah-wajah mereka saat tertidur pulas dalam bis. Lebih sering aku merasa kasihan.

Mendung bukan hal aneh di kota ini. Suara dan tampangku bukan hal aneh buat pengunjung rutin terminal ini. Dan seperti pagi lainnya, aku membuka pertunjukkanku di sebuah bis dengan menyanyi serak sebuah tembang Ebiet, “Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.....“

Thursday, April 28, 2005

Satu, Hiji, Uno, Sada, Un, Siji, Ciek, Een, One....

Karena lagi punya banyak waktu luang saya jadi sering nontonin gosip di program infotainment TV. Ternyata lagi santer ribut-ribut soal Dewa versus Boss FPI. Yang saya liat, bocah-bocah Dewa kayaknya lebih santai dibanding responnya pak ustad Ridziek. Dari polemik mereka soal logo kaligrafi Islam yang konon berbunyi Allah, setelah menikmati album Dewa bertajuk Laskar Cinta itu, saya simpulkan nggak bakal ada titik temu diantara mereka. Kalaupun ada ‘titik temu’ itu pasti semu dan sekedar kompromi palsu. Yang satu (Dewa) memang sedang asyik dengan kecintaan mereka. Yang satunya lagi tidak memahami cinta mereka itu dan sambil mengatas namakan agama, mengatas namakan Allah, mengatas namakan ketersinggungan umat, terus menghujat dan menuntut permintaan maaf. Permintaan maaf yang bahkan Tuhan sendiri mungkin nggak minta dari anak-anak Dewa itu.

Dari sekian lagu di album yang mungkin dapat publikasi gratis dari polemik yang diekspose nyaris oleh semua program infotainment itu, lagu berjudul Satu lah yang paling istimewa buat saya. Video klipnya juga cukup sitimewa. Lumayan liris, puitik dan surealis. Inilah lagu tentang tauhid, lagu tentang bagaimana seharusnya kita mengesakan Tuhan.

Menikmati lagu ini, saya jadi teringat tulisan-tulisan Rumi dan tulisan-tulisan tentang Rumi. Jalalludin Rumi yang begitu penuh cinta pada Khaliknya. Sang murid yang begitu mencintai sang Murshid. Sang sufi yang mempersembahkan segala-galanya demi cintanya itu. Cinta yang getar-getarnya mungkin hanya bisa dirasakan Rumi sendiri. Cinta yang sulit diceritakan, yang hanya bisa dan hanya harus dialami sendiri. Tak ada cara lain.

Sejarah memang penuh pengulangan. Orang-orang yang tak tahu sucinya cinta seperti itu memberangus, memaki, menghujat, bahkan tega membunuh. Orang-orang yang berlagak suci tapi tak bisa merasakan getar cinta yang suci itu. Orang-orang yang rajin meminjam ayat demi ambisi bejat mereka. Orang-orang yang mengaku paling tahu tapi sama sekali tak tahu. Telah banyak martir menjadi korban orang-orang seperti mereka di setiap jaman.

Ah sudahlah, koq jadi marah-marah gini. Btw, ada satu lagu yang ternyata setelah dinikmati punya makna yang bicara cinta seperti itu juga.

Dan bila aku berdiri tegap hingga hari ini
Bukan karena kuat dan hebatku
Semua karena cinta
Semua karena cinta

Ingat gak lagu apa? Yup....lagunya Glenn Fredly yang dinyanyikan pemenang Indonesian Idol, Joy dan Delon...

Itu beberapa lagu pilihan saya...boleh tahu lagu pilihan kamu?

Satu (dewa/ahmad dhani)

Aku ini…adalah dirimu
Cinta ini…adalah cintamu
Aku ini…adalah dirimu
Jiwa ini…adalah jiwamu


Apa lagi yang tersisa? Apalagi yang kubisa? Apa ada yang kau bisa? Semua punyaKu, semua punyaMu. Inilah cinta satu-satunya yang bisa kupersembahkan. Inilah satu-satunya yang layak disebut cinta.

Rindu ini adalah rindumu
Darah ini adalah darahmu


Aku ingin bercinta seperti cinta Sapardi:
“Aku ingin mencintaimu, dengan sederhana
Seperti yang dikatakan kayu kepada api yang menjadikannya abu”
Habis…habis terbakar semua…
Aku ingin menari penuh cinta seperti Rumi yang terus menari
Menari penuh cinta hingga lebur, hingga tak ada lagi jarak antara tarian dan sang penari


Reff.:
Tak ada yang lain selain dirimu
Yang selalu kupuja…
Ku sebut namamu
Di setiap hembusan nafasku
Kusebut namamu


Ya Robbi…ya Kristus…ya Allah…ya Yahwe…ya Buddha…ya Gusti…ya Sang hyang widi

Kusebut namamu

Ya Robbi…ya Kristus…ya Allah…ya Yahwe…ya Buddha…ya Gusti…ya Sang hyang widi

Dengan tanganmu, aku menyentuh
Dengan kakimu, aku berjalan

Tak ada lagi yang tersisa…

Dengan matamu, kumemandang
Dengan telingamu, kumendengar


Tak ada satupun yg kupunya…

Dengan lidahmu, aku bicara
Dengan hatimu, aku merasa


Innaillahi wainnaillahi rojiun...

Friday, April 15, 2005

haiku sepotong senja

kata yang mati
di deru roda besi
senja, koran basi

gelap menyergap
kereta senja rintih
kantuk menyesak

Cerita Papa Mul suatu hari…

(bercerita dalam 100 kata)

Aku berang setiap film kartun bodoh itu muncul di TV.
Aku benci Dora, aku benci Boot yang suka jumpalitan itu, aku juga kesal pada anakku kalau sedang menirukan mereka berkata,
“Sweeper jangan mencuri, Sweeper jangan mencuri, Sweeper jangan mencuri…”

Sejak makin sering masuk berita TV gara-gara wartawan sialan dan anggota pemberantas korupsi sok suci itu, aku memborong selusin boneka Sweeper setiap hari.
Tapi, anakku tetap tak suka Sweeper.
Anakku lebih suka boneka anak perempuan dan teman monyetnya yang kucel itu. Sekarang, setiap aku pulang ke rumah anakku menyambut di depan pintu,
“Papa jangan mencuri, Papa jangan mencuri, Papa jangan mencuriiiii….”

Dia... Guruku...

(bercerita dalam 100 kata)

Sesekali, aku dan istriku saling tatap. Sesekali kami menatapnya. Nafasku masih tersengal sisa tengkar kata tadi, yang segera usai begitu orang ketiga datang. Orang yang kini duduk diam menatap kami tajam. Bukan pertengkaran besar sebenarnya. Hanya selisih kecil soal ke mana menyekolahkan Bening, putri kami.

“Sudah tenang?” desahnya memecah sunyi.

Kami mengangguk kecil.

“Mau sekolah di mana nggak masalah koq. Kenapa Papa Mama bertengkar? Papa masih juga mengulang kebiasaan dulu, selalu terseret amarah... Mama juga!”

Kami terpaku malu menatap Bening. Bening adalah guru kami di kehidupan yang lalu, begitu kata kakek tua tak diundang yang datang saat tujuh bulanan Bening.

Wednesday, April 06, 2005

Isdet...

Hello darkness my old friend
I’ve come to talk with you again

(Sound of silence: Simon & Garfunkel)


Image hosted by Photobucket.com

Suatu hari, dengan seorang teman kantor saya terlibat obrolan kosong. Saya tanya teman saya ini tentang minatnya ikut acara reality show televisi Fear Factor. Tumben-tumbenan, dari seorang teman cowok yang rasanya cukup punya jiwa avonturir saya mendapat jawaban, “Nggak, gw nggak mau. Gw nggak mau mati konyol. Nggak keren kalo mati konyol”. Secara spontan (tanpa “Uhuuuy” tentunya) saya merespon, “Mau mati gimana juga, judulnya mati. Lagian pas udah mati emang loe masih bisa mikirin konyol ato nggak?”.

Masih di hari yang sama, masih dengan teman yang sama, kami terlibat obrolan tentang tema yang sama; kematian. Dia bilang, “Ja, jaga-jaga gula darah kalo loe nggak mau mati gara-gara diabetes.” Banyak angota keluarganya meninggal lantaran penyakit yang satu ini. Spontan lagi (dan tanpa “Uhuuuuy” lagi), saya bilang ke dia, “Eh elo ternyata atheis yah!”. Teman saya kaget. Saya jelaskan kenapa, “Untuk orang yang ngaku berTuhan, koq bisa-bisanya elo mikir kalo orang bisa mati lantaran Diabetes?” Kelihatannya dia mengerti maksud saya, tapi dia juga hanya bisa diam dan bingung bagaimana harus merespon pertanyaan iseng saya tadi.

Bukannya mau gimana-gimana, tapi soal bagaimana atau sebab apa seseorang mati kerap mengganggu benak saya. Apa nggak aneh yah, kalo ada orang yang bilangnya beriman, rajin sembahyang punya gelar ini-itu, tapi pas ngomong tentang satu kematian, “Iya, dia meninggal karena sakit jantungnya”. Bukankah kematian merupakan satu konsekuensi hidup? Semua yang hidup secara fisik akan mati secara fisik. Saya masih membuka kemungkinan bahwa orang bisa berumur 100, 200 atau bahkan 300 tahun karena memang tidak ada hukum yang pasti bahwa orang harus mati pada umur tertentu. Tapi memang secara sosial, kalau ada orang belum mati juga di umur 300 masyarakat sekitar akan menanggapnya aneh dan si ‘oknum’ tersebut juga mungkin bakal risih diliatin orang terus. Tapi bahwa ada orang bisa hidup sekian lama, saya pernah dengar. Di India, konon orang-orang seperti itu turun gunung dari pertapaan mereka untuk hadir di sebuah festival spiritual yang diadakan 25 tahun sekali. Sayang, nama acaranya saya lupa, begitu juga dimana tempat persisnya.

Makin saya berumur hingga hari ini, makin saya mendekati usia harapan hidup orang Indonesia (berapa yah? 50 tahun something?), tentu saja topik kematian makin memikat sama memikatnya memikirkan bagaimana menikmati sisa hidup senikmat-nikmatnya. Beberapa buku dan literatur tentang kematian sempat singgah dalam benak saya. Syeh Siti Jenar yang disebut-sebut sebagai wali kesepuluh, yang oleh telaah sejarah mainstream dicap sebagai sesat, termasuk tokoh yang mensentralkan kematian dalam perenungannya. Konon baginya, hidup yang sehidup-hidupnya adalah ketika kita mengalami kematian. Memang kematian di sini bisa beragam makna, bisa fisik bisa ego. Konon, para muridnya salah mengartikan ajarannya. Mereka mencari onar di pasar supaya dipukuli massa dan akhirnya mati digebukin. Saya lebih menikmati pesan Syeh ini dalam makna kematian ego. Karena menurutnya, dalam diri kita ada RuhNya yang hanya bisa total bermanifestasi ketika diri kerdil kita mati.

Beberapa buku yang saya sempat baca juga bilang, bahwa kematian justru sebuah peristiwa yang perlu dirayakan. Saat diberitakan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah mangkat, orang-orang Italia bertepuk tangan selama 10 menit. Konon, itu tradisi mereka untuk menghormati kematian seseorang yang sangat mereka cintai. Mungkin kematian memang perlu dirayakan, mungkin memang tak perlu harus diiringi sedu sedan, karena kematian toh sesuatu yang tak terhindarkan. Kematian adalah salah satu kepastian hukum alam. Bahkan, dalam dimensi dan wujud yang lain, sesungguhnya kematian banyak terjadi dalam hidup kita. Siang mati, hiduplah malam and vise versa. Saat kita tidur itu juga semacam kematian kecil dimana paginya kita bangun hidup kembali. Konon, kematian perlu terjadi sebagai bagian hukum kekekalan energi. Secara fisik mati, tapi energinya akan terus ada, selamanya. Seperti sepucuk daun hijau yang kemudian mati, mengering lalu terlepas dari pokoknya, jatuh ke tanah, hancur terlebur bersama tanah tapi energinya tetap ada, yang akan menjadi pupuk penyubur tanah bagi tumbuhnya biji buah yang jatuh...yang kemudian akan menjadi pohon baru...satu pokok pohon tersendiri.

Jujur saja, saya masih takut mati. Meski di sisi lain, saya mulai bisa memahami bahwa takut akan kematian adalah sebuah ketakutan yang tidak perlu. Seperti rasa takut akan datangnya senja. Tak perlu takut, senja pasti datang dengan pesonanya sendiri. Gelap malam akan menyusul. Nikmati saja, tidur saja, begitu ‘terang’ muncul kita akan bangun untuk hidup ‘berikutnya’.

Tanpa bermaksud tidak mengindahkan cara hidup sehat, saya berusaha menikmati hidup sepenuh-penuhnya. Karena rasanya, sebuah sebab kematian yang sebelumnya kerap saya pikir sebagai sebab hanyalah sebuah cara bagi berlangsungnya hukum alam, hukum semesta, hukum Tuhan. Coba saja itung-itung sendiri, berapa jumlah orang yang telah hidup sehat tanpa rokok selama hayatnya...toh mati juga oleh suatu sebab. ‘Karena’ petir, ‘karena’ kolesterol, ‘karena’ keseterum, ‘karena’ tsunami, ‘karena’ gas beracun seperti Soe Hok Gie, ‘karena’ diracun seperti Munir, ‘karena’ ketabrak seperti Lady Diana, ‘karena’ usia tua seperti Pater Drost, ‘karena’ Aids seperti Freddy Mercuri dan lain sebab. Hitung juga, berapa banyak orang yang sepanjang hidupnya tak lepas dari rokok yang bertahan sampai usia melebihi angka seratus...meski tentu saja mati juga.

Jujur saja, saya masih suka menangis ketika menghadiri sebuah perlayatan atau pemakaman. Kadang, air mata itu begitu saja jatuh. Kadang saya juga digoda suara yang bertanya; elo nangis buat diri loe sendiri atau buat orang yang baru saja mendiang? Elo menangis karena egoisme loe yang merasa ditinggalkan atau karena elo bahagia melihat temen loe telah memasuki fase lain perjalanannya? Elo menangis karena boleh berbagi kebahagian ketika hidup bersama orang yang baru saja meninggal atau karena merasa ada bahagia yang terenggut atau berkurang karena kematiannya?

Konon, buat falsafah Jawa, hidup itu seperti mampir ngombe alias numpang minum. Setelah dahaga puas kita jalan lagi. Pesan yang sama saya rasakan saat menikmati film Terminal-nya Tom Hanks. Hidup seperti sebuah persinggahan ‘sebentar’ dimana kita diberi kesempatan menjadi pribadi yang lebih baik....setelah itu kita jalan lagi. Syukur-syukur, menjadi perjalanan terakhir...sebuah perjalanan pulang.

Friday, March 04, 2005

True believers

Siang tadi saya makan siang di Pasaraya dengan teman-teman Lowe, kantor saya dulu. Berdelapan kami makan di satu meja. Setelah makan diselingi gurauan kecil, setelah perut kenyang, setelah rokok mulai disulut, setelah ngobrol ngalor ngidul, setelah entah gimana kelima cewek-cewek itu pergi sebentar belanja ini-itu, tersisa kami bertiga; saya, Pepson dan Roy. Pepson seorang copywriter yang kuliahnya teknik penerbangan dan belakangan sedang memberi perhatian lebih pada soal bahasa. Tulisannya dimuat di Intisari disamping buku fiksinya yang katanya tak seberapa memberinya uang royalty. Roy, belum lama jadi copywriter setelah memutuskan meninggalkan bidang sebelumnya; account planning. Konon dulunya dia juga seorang demonstran yang tangguh.

Lalu, kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul lagi. Dari soal film nasional yang nggak juntrung ke soal teater Indonesia yang sepi peminat, dari soal advertising award ke soal orang kreatif iklan yang kurang minat membaca. Biarpun diantara kami sempet ada yang bilang nggak usah ngomongin iklan, tetep aja obrolan soal iklan keluar juga.

Saya suka dengan obrolan siang itu, saya suka dengan kedua teman saya yang harus saya kategorikan sebagai true believers sebagai orang iklan. Dari mereka berdua, saya melihat kepercayaan yang besar bahwa masyarakat kita semakin cerdas dan makin apresiatif mencerna iklan-iklan Indonesia terkini. Mereka percaya bahwa sebuah iklan adalah sebuah hasil kerja tim yang bekerja dengan knowledge yang mendalam tentang produk dan khalayaknya. Mereka percaya untuk mengenal khalayak yang sesungguh-sungguhnya, orang iklan harus kenal betul bagaimana mereka hidup. Mereka percaya bahwa seorang insan kreatif iklan harus memperkaya dirinya dengan membaca, bergaul dan mengamati. Mereka percaya, bahwa bagaimana mau ngomong sama kelas bawah kalo pengap, rawan, susah dan serunya naik bis Patas (yang tidak cepat dan tidak terbatas) kita nggak pernah tau rasanya? Mereka percaya bahwa semakin kaya isi kepala dan isi hati seorang insan kreatif iklan makin banyak pula ide-ide segar yang mungkin bisa dihasilkan. Dan salah satu hasil dari semua itu, kita bisa memenangkan award-award festival iklan tingkat dunia.

Bukan hal-hal baru yang kami bicarakan sebetulnya. Tapi, senang rasanya melihat masih ada teman-teman yang punya ‘iman’ sebesar itu. Lebih senang lagi, karena saya merasa mereka cukup berjihad demi iman itu dalam keseharian kerja mereka. Dan saya yakin, yang punya iman seperti itu bukan cuma mereka berdua.

Terima kasih teman, karena siang tadi saya pulang ke kantor dengan dengan perut kenyang dan mata berbinar-binar. Aaaah...masa depan periklanan Indonesia tak pernah kulihat secerah ini...hehehehehhee.

Tuesday, February 22, 2005

Why Tarot?



Minggu tanggal 20 Februari kemarin, saya berada di Bandara Ngurah Rai Bali menunggu pesawat buat pulang ke Jakarta. Pesawat Adam Air yang rencananya berangkat pukul 17 lebih waktu setempat akhirnya didelay sampai dua kali. Baru jam 20 lebih pesawat benar-benar take off ke Jakarta. Meskipun kesal, di Bandara saya masih bisa mengisi waktu dengan membaca dan menikmati makan-minum gratis di Executive Lounge dari bank kartu kredit saya. Entah saya harus bayar berapa untuk makan dan minum nonstop kalau tak punya kartu kredit (bukan promosi nih..hehehehhe). Meskipun jadi terlambat sampai Jakarta, akhirnya saya memilih perasaan ‘nggak apa-apa’ dengan situasi itu. Kenapa? Sederhana saja. Meskipun keterlambatan untuk sebuah maskapai udara cukup tidak bisa ditolerir dalam ukuran profesionalitas, tapi saya bisa menerimanya sebagai hasil dari ‘perencanaan’. Pesawat itu bukan kebetulan terlambat.

Mungkin ada masalah teknis, mungkin ada cuaca yang buruk, mungkin ada alasan-alasan lain yang tidak mungkin saya mengerti sebagai awam dalam dunia aviasi. Mungkin, kalau pesawat itu tepat waktu akan melintasi cuaca buruk yang bikin saya lebih semaput. Lebih parah lagi, bisa saja terjadi kecelakaan. Mungkin, kalau pesawat itu tepat waktu setiba di Jakarta saya dirampok supir taksi berengsek yang saya tumpangi. Mungkin kalau pesawat itu tepat waktu, di Soekarno-Hatta saya terpikat seorang wanita super cantik yang ternyata naksir saya duluan pada pandangan pertama dan akhirnya saya nggak jadi pulang ke rumah ketemu anak dan istri malah larut dalam petualangan asmara yang saya nggak tau ujungnya dimana. Kemungkinan lain, bisa saja karena tepat waktu pas saya sampai Soekarno Hatta sedang ada razia calo dan saya ditangkap lantaran tampang mirip-mirip calo tiket. Atau bisa terjadi kejadian-kejadian aneh, lucu atau berbahaya lainnya. Agak berlebihan mungkin memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Tapi bisa jadi, agak berlebihan juga kalau saya terlalu marah dan kesal sendiri nggak keruan. Pesawat itu terlambat bukan karena kebetulan. Bagi saya, tak ada yang namanya kebetulan dalam hidup ini. Untuk sebuah alur cerita, rasanya lebih seru kalau membaca yang berpinsip ‘tidak ada yang kebetulan’ ketimbang buku yang banyak faktor kebetulannya. Jelas lebih seru baca “Da Vinci Code” yang konspiratif ketimbang “Lima Sekawan” yang banyak kebetulannya. Untuk batin saya sendiri, jauh lebih penuh ungkap syukur kalau saya ‘bukan karena kebetulan’ naik gaji atau dibajak perusahaan lain dengan gaji 4 kali lipat, ketimbang saya berpikir semua itu cuma kebetulan belaka.

Seperti juga, ketika sebelum ke Bandara di Bali saya mengikuti dorongan hati saya untuk bertemu kakak ipar saya dan temannya untuk sekedar makan siang bareng. Bukan kebetulan juga saat kami makan siang di sebuah kafe di tepi pantai Kuta, saya nyerocos hal-hal yang biasanya sering saya tahan. Bukan kebetulan kalau kami ngobrol loncat-loncat dari satu topik ke topik lain. Bukan kebetulan, kalau saya baru bertemu dengan temannya kakak ipar saya itu dan beberapa menit kemudian langsung terlibat topik pembicaraan yang agak tidak umum terjadi pada dua orang asing yang baru bertemu.

Bukan kebetulan juga, kalau suatu hari dalam perjalanan hidup saya tertarik dan mencoba menekuni ilmu baca Tarot. Bukan kebetulan, kalau ketika satu kartu yang saya comot dari dek kartu Tarot yang saya tebar...ternyata yang muncul kartu Wheel of Fortune untuk pertanyaan “apakah dia jodoh saya?”.

Ada 78 kartu yang berbeda yang masing-masing kartunya bisa punya beberapa makna. Itulah indahnya ilmu simbolisme Tarot, yang usianya telah ratusan tahun tersembunyi sebagai ilmu rahasia, yang jumlah 22 kartu Arkana Utamanya sama persis dengan jumlah 22 abjad Hebrew. Dalam Tarot, kita tidak membaca artinya secara text book, tapi kita membacanya pakai bahasa alam bawah sadar. Konon, ketika terjadi kontak antara si pembaca dan penanya, ada satu perpustakaan semesta yang kita bisa akses untuk mencari jawaban untuk pertanyaan apapun. Tapi, tentu saja membaca tarot tidak sekedar kocok-kocok kartu, buka-buka kartu lalu ngoceh sambil ketawa-ketiwi (walaupun pembacaan Tarot juga tak perlu seseram gambaran kayak di film-film yang menampilkan pembaca Tarotnya yang gipsi-an dan penuh misteri). Konon, si pembaca perlu persiapan tertentu untuk mengasah intuisinya agar tepat memilih arti mana dari sederetan arti dari satu kartu yang akan menjadi jawaban atas satu pertanyaan. Salah satu persiapannya adalah meditasi. Konon, di satu titik kartu-kartu bergambar indah itupun tak perlu lagi ketika seseorang bisa membaca orang lain sejelas buku yang terbuka. Kartu-kartu itu hanya menjadi medium saja.

Bukan sulap, bukan sihir..banyak hal yang saya dapatkan dari belajar Tarot. Bukan sulap, bukan sihir kalau jawaban yang saya kasih ‘kebetulan’ pas dengan pertanyaan penanya pada saya. Bukan sulap, bukan sihir...kalau satu kali saya tak mampu menjelaskan lebih baik dan lebih jauh apa, mengapa dan bagaimana Tarot itu.

Bukan sulap, bukan sihir...hanya misteri-misteri yang belum terungkap. Ketika terungkap, tak ada lagi misteri. Apa yang tidak biasa menjadi biasa. Apa yang aneh menjadi wajar sekali. Kita sudah kadung diajar kalau kita ini terbatas dan batasnya adalah apa yang kita bisa tahu. Padahal konon, apa yang kita tidak tahu tidak berarti tidak (pernah) ada.

Tarot bagi saya seperti kata guru dan master Tarot, bisa menjadi sebuah jalan...sebuah jalan yang lain, yang seru, menarik, lucu, penuh kedalaman, penuh kesejukan tapi sekaligus penuh kejutan dahsyat.

Bukan sulap, bukan sihir, bukan kebetulan....

Thursday, February 17, 2005

sekerat rindu



aku tak pernah tahu apa kau dulu, aku tak pasti siapa kau nanti
yang kutahu; ada gamang mencengkeram waktu, ada galau mengisi ruang
sebuah wajah yang asing mengendap diam-diam, menatap lalu menyergap sedakapku
usai itu kau tak lagi asing ketika sekelebat kemudian kau pergi sambil meninggalkan
ratusan bahkan jutaan fragmen-fragmen yang kau tebar menjadi keping-keping teka-teki yang indah
bandang airmata membalut keping-keping yang kini mulai kusatukan
bandang airmata menghitung waktu yang tersisa untuk rindu ini

“Masih seperti kemarin”


(bercerita dalam 100 kata)



Burung-burung bangkai itu sudah berputar-putar. Mata merah menyala, tebing terjal, kerontang kering, pucuk puncak... semua masih sama. Batu keparat inipun masih sama. Peluh kecut dan nafas sialan inipun masih tak mau kompromi. Semuanya masih seperti pagi kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Juga menyebalkannya orang-orang di kaki bukit itu. Mula-mula mereka menatapku penuh perhatian ketika aku mulai mendaki sambil mendorong batu ini. Setibaku di puncak, mereka akan terpingkal-pingkal sambil sesekali menyebut namaku. Menyebut untuk arti yang masih sama, “Bodoh...bodoh...masih juga kau lakukan itu?”

Dari atas puncak aku menatap batu itu menggelinding. Suara gemuruhnya tertutup gelak tawa keparat-keparat yang memanggil-manggil namaku, “Sisifuuuuuuus”.

Monday, January 31, 2005

Sebuah Sabtu yang lain?



Sabtu 29 Januari 2005, sekitar jam 7 malam. Sambil bermain dengan Rara, saya browsing acara TV. TV7: Jejak Petualang. Riyanni Djangkaru mengisahkan petualangannya di Negeri Pahang, Malaysia. Menjajal medan berlumpur dengan rombongan off-roader, menjelajahi indahnya Pulau Jawa (pulau di Negeri Pahang yang kata sang presenter dulunya dihuni orang Jawa) dan menikmati indahnya air terjun Sri Mahkota. “Ah, seandainya saya ada dalam rombongan itu”, khayal saya. Acara terpotong.

Seperti biasa; jeda iklan. Meski saya orang iklan, saya tak suka Sabtu saya diganggu iklan. Apalagi iklan-iklan jelek.

Saya pindah channel. Naik satu channel..”nggak menarik”. Naik lagi, naik lagi, naik lagi satu channel. Tak sampai hitungan kelima, tak sampai hitungan satu menit sampai saya di Metro TV. Dari Negeri Pahang, saya dibawa ke Banda Aceh. Di Metro TV, sebuah acara bertajuk Para Pemberani di Tengah Tsunami. Rabani, nama pria yang berceritera dengan dada bergetar dan tatapan nanar. Seperti baru bangun kembali dari mimpi buruk yang sama. Bertutur ia bagaimana dapat selamat dari bencana itu, bagaimana menyesalnya ia tak dapat menolong seorang wanita yang mengharap bantuannya sebagai dewa penolongnya, bagaimana dengan beban yang begitu berat ia tetap berusaha mengambil gambar kota yang baru saja dihantam Tsunami, di layar TV tersaji kembali gambar-gambar itu. Gambar-gambar yang mungkin baru saya lihat, tapi tentang cerita yang sama, yang kalau saya deskripsikan lagi pun sulit mengundang air mata kamu yang mungkin sudah terkuras.

Dari TV7 ke Metro TV, hanya selisih 3 channel.
Dari Negeri Pahang ke Banda Aceh, hanya satu hembusan nafas.
Dari satu kisah indah ke kisah sedih, berganti secepat memencet tombol remote.

Tiba-tiba...saya kehilangan selera bicara soal iklan bagus dan iklan jelek.

Terima kasih, untuk Sabtu yang istimewa ini.

Thursday, January 27, 2005

Soliloqui Kosong Tentang Nasib



Ada satu cerita bagus dari buku Anthony De Mello, seorang spiritualis Yesuit yang memilih mewartakan kabar baik dengan berceritera dari semua sumber spiritual. Mungkin cerita yang satu ini yang paling bagus, sampai-sampai dipilih dipasang di back cover buku berjudul Sejenak Bijak.

Seingat saya begini kira-kira ceritanya. Konon, di sebuah desa di Tiongkok sana, ada seorang petani tua dan anaknya. Suatu hari, seekor kerbaunya lepas dari kandang. Para tetangga menyampaikan rasa prihatinnya dengan mengatakan sungguh buruk nasib pak tua itu. Tapi pak tua tetap diam tenang menerima apa yang terjadi. "Nasib baik, nasib buruk...siapa tahu", jawabnya tenang. Beberapa hari kemudian kuda yang lari ke gunung itu kembali membawa sekawanan kuda liar lainnya. Tetangga pun datang mengungkapkan suka cita mereka. "Sungguh baik nasibmu", kata mereka. Tapi pak tua hanya menjawab, "Nasib baik, nasib buruk...siapa tahu..". Beberapa waktu setelah itu, anaknya jatuh saat mengurus kerbau mereka. Kakinya terluka hingga sulit berjalan. Kembali para tetangga menyampaikan rasa turut bersedih mereka dengan mengatakan, "Sungguh nasib yang buruk telah menimpamu...". Dan pak tua pun kembali membalas rasa sayang tetangganya dengan berkata, "Nasib baik, nasib buruk...siapa tahu..". Beberapa hari setelah itu, sepasukan tentara datang untuk merekrut para pemuda untuk dibawa ke ibukota menjadi tentara sukarelawan yang akan maju bertempur. Tetangga pak tua banyak yang anaknya harus direlakan pergi dan mungkin tak akan kembali hidup-hidup lagi. Melihat pak tua masih bersama puteranya mereka berkata, "Sungguh baik nasibmu...". Dan kembali pak tua hanya berujar, "Nasib baik, nasib buruk...siapa tahu..".

Sejak akhir tahun lalu, semua saluran televisi dipenuhi gambar-gambar memilukan tentang korban hidup dan korban tewas akibat bencana tsunami. Sampai hari ini saya tetap tak bisa tertawa bahkan tersenyum melihat gambar-gambar itu. Dan mau tak mau, meski sudah dihindari dengan cara apapun Rara, putri saya yang baru saja berulang tahun ke-2, akhirnya melihat dan terbiasa dengan gambar-gambar itu. Bukan mau menutupi kenyataan hidup, tapi saya harus punya jawaban yang tepat jika ia bertanya. Anak seusia sepertinya sangat punya banyak pertanyaan. Dan jawaban apapun yang kita berikan padanya akan melekat sampai ia dewasa, mungkin.

Apakah gambar-gambar itu bicara tentang nasib buruk atau nasib baik, saya tak tahu. Saya akhirnya hanya bilang, "kasihan ya mereka dek Rara..". Memilih kata kasihan pun saya tak yakin betul. Memilih kata itupun karena saya membandingkan keadaan saya dengan mereka. Lepas dari kata beruntung atau tidak, tentu saya lebih nyaman dari mereka. Dan tentu, mereka butuh lebih dari kasihan untuk bertahan hidup dan tak menyusul para sanak kerabat mereka.

Anak sekecil itu bisa merasakan kesedihan, mungkin. Tapi saya tak mau mengatakan lebih dari itu. Saya tidak mau mengatakan bahwa semua peristiwa itu akibat alam yang murka. Saya tidak mau mengatakan bahwa semua peristiwa itu akibat Tuhan yang sedang marah. Karena saya tahu bahwa Tuhan tidak seperti saya yang pemarah. Saya tidak akan mengatakan bahwa para korban telah mati syahid dan masuk surga, karena urusan itu saya tak tahu persis meski saya percaya arwah para korban telah ada dalam asuhan Tuhan. Tuhan yang dengan cara dan hukumnya selalu memberi yang terbaik bagi yang hidup dan yang mati.

Saya tidak mau mengconditioningkan Rara tentang cara berpikir yang telah ditanamkan pada saya yang kerap menempatkan Tuhan seperti mahluk seperti kita yang tukang merajuk, pemarah, bete-an, angkuh dan kejam.

Mungkin Tuhan hendak mengatakan sesuatu lewat semua ini. Mungkin juga, Tuhan dan alam telah mengatakan sesuatu sebelum semua ini terjadi. Mungkin masalahnya, adakah kita mendengar? Mungkin itu sebabnya kenapa saya lebih suka mengucapkan "semoga kita beserta Tuhan" ketimbang "semoga Tuhan beserta kita".

Tuhan kita, Tuhan Anda dan saya, konon tak pernah meninggalkan kita. Tuhan kita tentulah tak sekejam sangkaan kita. Karenanya juga saya lebih senang mengganti syair lagu Bimbo kalau ikut bernyanyi saat lagu itu muncul di radio, "Aku dekat Engkau dekat, aku jauh Engkau dekat...".


Teriring doa buat semua yang tertimpa bencana....mari terus bantu mereka.

Wednesday, January 26, 2005

Iklan lowongan bermedium radio

(Tulisan dimuat di Majalah Cakram edisi Januari 2005)

Bicara tentang iklan lowongan yang kreatif, tentu kita langsung teringat iklan-iklan lowongan biro iklan yang banyak kita temui di media seperti yang sedang Anda baca ini. Dengan media yang spesifik bagi mereka yang bergiat di indutri iklan, iklan lowongan biro iklan tersebut bisa menggunakan bahasa atau idiom yang spesifik sangat dimengerti sesama orang iklan. Bahkan, iklan lowongan tersebut digarap sekreatif mungkin dan ditargetkan menyabet award Pariwara. Namanya juga iklan cari orang kreatif (baik bidang kreatif, media atau account), masak iklannya nggak kreatif. Untuk media cetak ada beberapa iklan yang masih saya ingat; satu iklan yang menampilkan ekspresi seorang copywriter sedang menangis desperate nyari art director (kalau tidak salah biro iklannya FCB/Advis waktu itu).

Ada juga iklan lowongan yang memberikan case bagi peminatnya, seperti iklan Lowe yang meminta peminat mengirim jawaban “bagaimana membuat drakula menjadi peminum susu agar tak lagi jadi peminum darah”. Pemberi jawaban terbaiknya kini sudah bekerja di biro iklan itu. Kalau tidak salah ingat, ada juga biro iklan yang memanfaatkan format iklan telpon esek-esek. Sekarang mari membandingkan iklan lowongan biro iklan seperti di atas dengan iklan lowongan perusahaan non-biro iklan yang banyak muncul di koran dan majalah. Kebutuhannya sama, tapi mengapa iklan lowongan kerja perusahaan non-biro iklan yang hampir setiap hari kita lihat di surat kabar tampil biasa banget kalau nggak mau dibilang nggak kreatif banget?

Buat saya, jawabannya adalah karena proses rekruitmen bukan perkara gampang. Pertama, karena tujuannya untuk mencari tenaga kerja maka iklan lowongan pada umumnya dibuat dengan prinsip ‘kalo emang mereka cari kerja pasti akan ngeliat iklan gw’. Pemikirannya benar sekali dan memang kenyataanya demikian ‘orang yang butuh kerja akan mencari iklan lowongan pekerjaan’. Iklan lowongan sendiri merupakan bagian dari proses rekruitmen terbuka kebalikan dari cara tertutup. Cara tertutup sering dilakukan biro iklan, dari cari info sampai proses membajak yang diam-diam tanpa iklan. Apalagi, kalau tenaga baru yang diperlukan tidak banyak. Cara terbuka, yang banyak dilakukan oleh umumnya perusahaan (termasuk biro iklan yang memerlukan tenaga banyak) dengan iklan cetak di surat kabar dan majalah biasanya disertai persiapan tertentu. Meskipun posisi yang ditawarkan sedikit, bisa saja digunakan iklan. Seperti sering kita lihat untuk iklan lowongan yang mencari jabatan sangat strategis, seperti mencari CEO, Rektor atau jabatan direktorial lainnya. Dari kriteria yang ketat hingga next step-nya seperti wawancara. Karena, sekali tayang di media massa, minat yang membludag harus diantisipasi.

Lalu bagaimana dengan iklan lowongan di radio? Sejauh pengamatan saya, saya hanya mendengar iklan lowongan dalam format adlibs alias dibacakan oleh si penyiar. Kalau pertanyaannya kemudian; bisakah iklan lowongan kerja dibuat menarik/kreatif (seperti iklan produk lainnya) untuk medium radio? Tentu saja jawabannya; amat-teramat-sangat bisa! Kenapa? Karena kebutuhannya dan prinsipnya sama persis dengan mengkomunikasikan topik/produk lainnya. Yang perlu dilakukan sama dengan mengiklankan shampoo atau departemen store, yaitu menarik perhatian target (dalam kasus ini peminat/pencari kerja). Justru dengan berpikir menggunakan radio untuk mengiklankan lowongan pekerjaan, ini adalah suatu keputusan berani dan membuka banyak peluang. Maklum, medium radio masih agak dianak-tirikan untuk beriklan. Termasuk menganak-tirikan dalam artian belum dimanfaatkannya secara maksimal dalam eksplorasi kreatif. Padahal, meski yang Anda dapatkan ‘hanyalah’ bunyi, dengan biaya jauh lebih murah Anda bisa menghadirkan sebuah theatre of mind yang kalau dilakukan dengan iklan televisi akan menghabiskan biaya hingga angka milyaran rupiah. Harga untuk mendapatkan gambaran “Suasana perang kolosal jaman Majapahit di sebuah lembah” secara audio dengan media radio bisa tak sampai satu persen dari budget Anda melakukan shooting iklan dengan film.

Meskipun peluang mengiklankan lowongan kerja di radio terbuka lebar, meskipun saya sendiri belum pernah membuat iklan lowongan di radio, bagi saya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan akan saya pertimbangkan;

- Ekplorasi ide dan eksekusi bisa apa saja. Bisa dialog, bisa lebih menekankan sound design dll. Pemilihannya tentu harus direlevansikan dengan pesan dan tujuan beriklan. Karena situasi pencari kerja mempunyai kekhasan tersendiri, secara ide kita dapat mengangkat insight para pencari kerja. Kalau secara visual gambaran klasik pencari kerja adalah orang sedang membawa map di bawah terik matahari, kita mungkin bisa mencari gambaran lain yang lebih baru, lebih segar dan relevan secara audio. Atau, mengangkat alasan kenapa orang ingin kerja atau pindah kerja. Dari sini kita bisa memberi penekanan tentang apa yang dapat perusahaan ini kasih pada pencari kerja. Gaji lebih besarkah? Dari sini kita bisa bergeser ke apa yang bisa didapat dengan gaji lebih besar, rumah sendirikah (lawannya pondok mertua indah)? Liburan ke Hongkong kah? Tentu saja apapun ide dan eksekusinya harus unik, mengingat semakin banyak iklan radio yang ‘itu-itu-aja’ ide dan gayanya. Siapa tau iklan ini bisa menambah panjang daftar perolehan Adhi Citra Pariwara yang masih didominasi medium radio.

- For your ears only. Apapun ide dan eksekusinya iklan radio adalah bentuk iklan yang komunikasinya cepat. Meski “hanya” berbentuk bunyi, iklan radio bisa sangat imajinatif. Walaupun ia juga tak bisa dibaca ulang dan dibolak-balik seperti iklan cetak. Dan tidak seperti jaman kemerdekaan dimana orang secara khusus mendengarkan radio, sekarang umumnya pendengar menikmati radio sambil melakukan aktifitas lain; nyetir, baca, ngobrol, kerja dll. Sekali pukul, iklan radio harus langsung dapat memberi gambaran theatre of mind-nya. Kalau orang perlu atau suka iklan itu, orang rela bisa menunggu untuk mendengarnya lagi.

- Pemilihan radio yang tepat. Karena, kalau ide dan eksekusinya udah dahsyat tapi pemilihan saluran radionya nggak pas bisa sia-sia jadinya. Situasi khas atau penggunaan gaya bahasa tertentu mungkin saja jadi sumber ide. Misal, menggunakan duo Ari Daging-Desta untuk iklan lowongan yang tayang di radio Prambors. Dengan memahami psikografis pendengar, bisa jadi ide yang digarap memanfaatkan jenis radionya. Untuk jenis pekerjaan manager keuangan kita bisa memanfaatkan radio bisnis. Untuk tenaga sales produk rumah tangga, bisa jadi kita memanfaatkan radio dangdut.

- Call to action-nya harus simple. Kelebihan iklan lowongan di media cetak adalah pada detilnya. Ada posisi apa saja yang tersedia, kode jabatan, kriteria dan alamat. Karena itulah orang-orang yang sedang cari kerja atau orang yang hendak membantu teman/keluarganya mencari pekerjaan akan melingkarinya dengan pulpen/spidol atau bahkan mengguntingnya. Menutupi kelemahan ini, untuk medium radio tentu call to action-nya harus dibuat semudah mungkin. Bisa “lebih jelasnya klik www.blablabla.com”, bisa hubungin nomor 321sekian-sekian atau alamat yang mudah diingat. Kemudahan inipun belum tentu mudah mengingat orang mendengar radio dalam kondisi yang berlainan; ada yang di kamar mandi, di mobil, di dalam bus dll. Tentu, frekuensi tayang memegang peranan untuk mengatasi hal ini.

(Panata Harianja)


Perjalanan menuju kosong

(Sekedar sebuah latihan menulis. Ditulis 20 April 2004. Berawal dari stimuli sebuah situs tentang menulis, "Write a mini-story (100 to 250 words) that begins with: "They had nothing to say to each other." Hasilnya? Cerita klise kosong dengan lebih dari 400 kata...susah juga yah nulis itu)

"Tak satu pun kata terucapkan diantara mereka...” Ruangan itu menghadirkan kesunyian yang terlalu sunyi, yang nyaris ideal bagi sebuah peristiwa bernama; kematian. Tangan ibu yang telah seluruh rambutnya telah memutih itu terasa mulai kaku. Entah telah berapa lama menumpang di tangan putrinya yang terbaring diantara bunyi denyut nadinya yang terasa bagai teror bagi ibu itu.

Senja itu adalah senja ke-14 yang telah mereka lewati bersama dalam ruang serba putih yang nyaris membuat sang ibu bercahaya ketika sesekali keluar ruang ICU itu. Cerlang, sang putri, yang terbaring diambang sakratul sesekali menyungging senyum. Entah yang terlintas di benaknya. Sang ibu dan seluruh keluarganya sudah tak peduli lagi apa dan bagaimana pengobatan terbaik bagi penyakit Cerlang. Bahkan kata penyakit rasanya sudah tak ada lagi dalam kosa kata orang-orang yang datang menengok Cerlang. Cerlang, suatu saat..entah di detik atau menit keberapa, akan meninggalkan mereka. Air mata juga sudah kering entah sejak hari keberapa. Doa pun tinggal mengalir dalam setiap desah orang-orang seusai menatap wajah Cerlang.

“Kau tak akan mengerti kalaupun kujelaskan selengkap mungkin apa yang diderita Cerlang.” Singkatnya, kujelaskan padanya, bahwa otak Cerlang sedang digerogoti oleh oksigen, sesuatu yang bagi orang kebanyakan justru merupakan pendukung utama bagi kerja otak. Ketika kita berpikir kita perlu lebih banyak oksigen masuk ke otak. Sedang Cerlang.... Untuk sadar kerja otaknya perlu dirangsang, yang ironisnya justru akan mempercepat kematiannya.

“Mau kemana kau?” sentakku pada Bismo. “Tidak kemana-mana. Merokok, tidak boleh?”, desahnya sambil mengusapkan tangan di mukanya sendiri. Di hisapan pertama rokoknya terasa ia ingin menelan semua resah hatinya. Bismo terlalu bodoh dalam urusan bersandiwara. Airmatanya tak bisa ia sembunyikan. Mungkin, airmata itu sudah dibawanya sejak dari Jayapura hingga koridor RS Cikini ini. Aku sempat khawatir ketika mengabari soal keadaan Cerlang. Karena, begitu aku selesai menceriterakan, dengan cara yang sehalus dan setenang mungkin, aku tak mendengar lagi suaranya. Baru tadi ia mengaku, bahwa saking tak kuatnya ia langsung jatuh pingsan. Aku dan Bismo adalah sahabat terdekat Cerlang. Dulu sekali, kami pernah diam-diam jatuh cinta pada Cerlang. Aku dan Bismo sama-sama tahu, sekaligus sama-sama diam-diam dan sekaligus sama-sama mengubur hasrat itu demi persahabatan diantara kami bertiga.

Langit terlihat mendadak terang dari semburat jingga sebelumnya. Tiba-tiba, pintu terbuka dan muncul ibunda Cerlang dengan senyum terindahnya sejak 14 hari aku menemaninya di rumah sakit ini. “Cerlang tadi pesan; Sekarang aku mau jalan-jalan dulu. Titip pesan sama Bismo dan Rendra ya Ma, bilang sama mereka aku sebenarnya mau kawin dengan salah satu dari kalian asal yang satunya lagi rela”. Aku dan Bismo langsung mememuk ibu Cerlang. Tangisan tanpa airmata tersisa.

Anting seorang laki-laki.

(Tulisan ini dibuat 24 Maret 2004 dan dimuat di majalah Herworld edisi April 2004.)


Beberapa minggu terakhir ini, beberapa media massa nasional sempat menurunkan tulisan perihal lelaki Metroseksual. Waktu pertama saya baca kata metroseksual, langsung terlintas beberapa pertanyaan; macam apa pula ini? Apa ini sebutan untuk orientasi seks bukan hetero bukan homo? Atau soal perilaku seksual terkini manusia metropolitan? Atau tentang posisi seks yang sedang ngetrend? Ternyata bukan sama sekali. Metroseksual ternyata sebuah terminologi baru untuk menyebut kecenderungan ‘penampilan oriented’ di kalangan pria. Dengan berbagai atribut, dari yang branded dan mahal sampai barang boleh nemu di pasar loak, dan pengatuaran mix and match yang pas, seorang lelaki bisa berdandan ‘serewel’ perempuan. Rambut mengkilat, rajin creambath, rajin facial dan rajin belanja baju, sepatu dan berbagai aksesoris, agar bisa tetap tampil selalu up to date. Kalau perlu mereka yang jadi trend setter.

Ada kebaruan dalam istilah ini, karena sebelumnya yang dapat cap tukang dandan itu perempuan. So, seperti terlihat di pusat-pusat perbelanjaan dan mal sekarang semakin banyak lelaki berdandan well prepared. Lelaki tidak lagi identik dengan dandanan ala kadarnya atau urakan. Kalau urakan sekalipun, urakan mereka didisain sedemikian rupa hingga menjadi sebuah fashion statement yang mencerminkan siapa mereka. Dan anting, merupakan satu aksesoris yang banyak mereka gunakan.

Nah, dalam soal anting inilah saya punya cerita konyol. Beberapa tahun lalu, saya dan dua teman kantor saya di sebuah biro iklan pergi ke blok m mall buat nindik kuping. Agak ketinggalan jaman sebenarnya buat saya, karena beberapa teman sudah menindik kupingnya sejak sma dulu. Tapi, saya menindik kuping memang bukan dengan alasan teman sma saya itu. Yang di tahun 80an cowok menindik kuping dan memasangkan anting lebih untuk menunjukkan kemachoannya. Sedang sekarang, anting nyaris sekedar aksesoris yang lebih menunjukkan pilihan fashionnya.

Beberapa bulan lalu, saya hadir dalam sebuah pertemuan keluarga untuk mempersiapkan perkawinan seorang sepupu. Btw, saya berasal dari suku Batak dan dibesarkan dalam nilai-nilai yang menempatkan laki-laki dengan peran yang begitu tinggi dalam kehidupan orang Batak. Bagi keluarga saya sangat jelas perbedaan lelaki dan perempuan. Dan bagi mereka, lelaki tidak memakai anting. Nah, sebelum datang ke acara itu saya sempet kepikiran ide iseng. Apa kira-kira reaksi mereka kalau saya datang pakai anting (anting bulat kecil yang sebenernya sudah lama juga tidak saya pakai). Dan tepat seperti dugaan saya, mereka melihat saya dengan tatapan aneh. Bahkan seorang tante saya sempat menyuruh saya melepaskan anting itu sambil mengelus keras pipi saya yang rasanya lebih mirip tamparan.

Urusan beranting ria, yang merupakan salah satu cabang saja dari body piercing, sebenarnya bukan barang baru baik untuk perempuan maupun lelaki. Memasang anting di puting, bahkan dilakukan prajurit Romawi jaman dahulu untuk memamerkan keberaniannya. Untuk urusan anting kuping, sebenarnya telah digunakan para pelaut sejak djaman dahoeloe yang dipercaya mampu memperjelas penglihatannya. Makanya, kalau kita nonton film pelaut dan bajak laut beranting bukan beranting sekedar buat gagah-gagahan sebenarnya. Gak tau juga, bagaimana proses biologisnya anting yang berayun-ayun di daun kuping bisa ada faedahnya buat mata. Ya mungkin, itu tadi...namanya juga kepercayaan. Bahkan, penelitian antropologis dan arkeologis menyimpulkan bahwa anting merupakan aktifitas body piercing tertua untuk keperluan magis. Masyarakat primitif jaman itu percaya bahwa kekuatan iblis paling senang masuk melalui telinga. Dan mereka percaya, anting dari bahan metal mampu menangkal roh-roh jahat memasuki kuping mereka. Sejarah juga mencatat banyak lelaki ternama juga menggunakan anting di kuping mereka. Dari Shakespeare sampai Julius Caesar yang dimasanya bahkan anting kuping lebih populer di kalangan pria dibanding wanita.

Kembali ke jaman sekarang, ear piercing seperti juga tatoo bukan lagi sesuatu yang berkonotasi preman-premanan. Kalaupun ada preman pakai tatoo atau anting, boleh jadi mereka tergolong pria modis yang kebetulan saja menempuh jalur hidup preman. Untuk urusan tatoo, bahkan sempat di era 80-an (kalo nggak salah) ada gerakan menghapus bahkan men-strika tatoo. Pria baik-baik dan preman terpaksa melakukannya lantaran ada penembak-penembak misterius (yang kemudian ngetop dengan istilah petrus) yang mengincar preman-preman yang sialnya hampir selalu bertatoo. Dan kalaupun ada yang menganggap saya preman karena beranting, ya anggap saja sebagai bentuk pertahanan diri. Siapa tahu copet atau penodong membatalkan niatnya gara-gara calon korbannya beranting.

Anting sudah menjadi mode yang dilakukan hampir di semua tempat. Dari anak SMP sampai kalangan dewasa banyak yang beranting. Dengan uang tak sampai 20 ribu, saya bisa menindik kuping saya (atau bagian tubuh saya lainnya) dengan alat berbentuk seperti pistol plus anting starter. Tahan sakit sebentar, semenit kemudian Anda akan menjadi seorang yang baru. Kita bisa pilih anting yang besar, yang kecil, anting jepit, anting kenot yang berbentuk lurus, bisa dari perak, platina atau emas, bias polos atau dengan batu-batuan. Dan, sebagai bagian dari penampilan anting itu bisa dipasang dan dilepas sesuka kita. Tapi apapun pilihannya, higienitas harus dijaga. Malu juga khan, niatnya mau gaya malah korengan. Balik, ke cerita keluarga saya. Saya cukup ngeh juga, bahwa se-ngetrend apapun, se-modis apapun, ternyata kita masih hidup dalam masyarakat transisi. Istilah metroseksual mungkin masih dipahami dan diapresiasi hanya oleh segelintir orang. Kita masih hidup bersama dengan masyarakat luas yang mungkin belum menganggap anting sebagai fashion statement. Tapi, saya pikir juga, shock terapi buat masyarakat yang sedang berubah pun perlu sesekali dilakukan. Shock terapi, seperti adegan ciuman dalam film Ada Apa Dengan Cinta buat masyarakat yang terbiasa dengan film indonesia yang menyuguhkan adegan ciuman yang tidak tulus, palsu. Atau seperti, Kartini yang berani menujukkan pada masyarakatnya masa itu bahwa perempuan pun perlu pendidikan. Jadi, saya pikir-pikir lagi mau bikin heboh apalagi ya kalau ketemu keluarga saya tercinta itu. Mungkin laen kali saya datang dengan rambut dicat...hmmm ide menarik.

Celoteh Kosong Tentang Buku

(Judul asli tulisan ini "Lelaki kutubuku", yang gw buat tanggal 23 Maret 2004 untuk dimuat di majalah Herworld pertengahan 2004 bersama satu tulisan lagi. Tulisan tentang buku ini ditolak lantaran salah pengertian. Tulisan ini hampir 4.500 kata, padahal Herworld cuma punya space 5.000 karakter...biasa, terlalu semangat...heheheheheh. Oh ya, ada rombak sedikit dari tulisan aslinya tapi tak lebih dari 10 kata.)

Dalam rubrik Debate Herworld edisi lalu disuguhkan sebuah pertanyaan untuk diperdebatkan; pilih kaya atau terkenal? Ini pertanyaan menarik, menggoda sekaligus menyadarkan saya. Saya belum pernah terkenal, sekaligus belum pernah kaya. Kasian deh gue. Tapi, jika menjadi terkenal adalah jalan untuk menjadi kaya sebenarnya buat apa juga saya harus memilih terkenal dulu. Karena, untuk menjadi terkenal butuh kreatifitas tingkat tinggi, kalau nggak mau asal terkenal ala Sumanto. Kita harus mencari yang belum dilakukan orang. Jadi caleg udah telat, pemilu tinggal beberapa minggu lagi. Mau bikin model goyangan baru? Susah rasanya menyaingi fenomena ngebor Inul. Mau menggantikan Puspo Wardoyo jadi Presiden poligami...nggak sanggup saya. Istri satu aja udah repot koq. Mau ikut AFI atau Indonesian Idol? Nggak mungkin. Demam panggung saya lebih parah dari Demam Berdarah. Salah-salah, masih tahap audisi saja saya malah jadi Indonesian Idiot. Jadi, kalau saya mesti milih, ya jelas...saya pilih kaya.

Karena dengan kaya, saya bisa memenuhi keinginan terpendam saya. Pertanyaan berikutnya mungkin; memang kalau kamu punya uang banyak, mau ngapain? Sebenarnya saya sangat berharap itu bukan pertanyaan dan tak ada kata ‘kalau’ (Siapa juga yang nggak mau punya uang banyak ya?). Tapi kalau ditanya begitu, jawaban saya simple aja; beli rumah yang gede, bikin perpustakaan yang gede, tambah koleksi buku...lalu saya akan menghabiskan waktu buat membaca. Saya akan minta seorang interior designer merancang perpustakaan yang nyaman sekaligus asri buat saya. Ruangan itu bisa terpisah dari rumah utama. Karena, saya ingin bangunan perpustakaan itu dibangun dengan sentuhan etnik. Saya tidak mau perpustakaan saya didisain dengan gaya perpustakaan seperti di White House. Terlalu dingin buat saya. Ruang perpustakaan itu harus mempunyai satu sisi jendela yang menghadap ke taman yang memiliki sebuah kolam. Ini penting, agar saya tetap bisa menikmati pesona saat hujan menyapu bunga-bunga dan rumput taman. Menikmati air yang menetes satu-satu dari atap yang mungkin dibuat dari rumbia. Menikmati air yang menebar gelombang-gelombang kecil saat memerciki kolam.

Saya bisa bahasa Inggris, meskipun cenderung ke arah Sing-lish-Sing-lish-an. Bukan, yang saya maksud bukan Singapore English, tapi Single English alias bahasa Inggris cuma sekata dua kata saja. Karena, kalau sudah ketemu bahasa Inggris yang susah saya akan perlu waktu lama untuk menuntaskan sebuah buku...itu juga kalau tidak berhenti membaca di tengah jalan. Makanya, saya juga akan ikut kursus khusus atau semacam les privat bahasa Inggris dengan guru native speaker. Karena, banyak buku bagus yang ingin saya nikmati tapi banyak yang tak selesai dibaca antaran saya malas bolak-balik kamus. Saya juga akan membuat kategorisasi untuk semua koleksi buku saya. Sehingga, saya mudah mencari buku yang ingin saya baca. Mungkin saya akan meng-hire satu orang khusus untuk menata, mengelola dan memastikan semua buku dalam kondisi prima. Jika perlu, semua data tentang semua koleksi buku itu saya masukkan ke dalam sebuah komputer yang juga mempunyai prosesor tercanggih dengan memory bergiga-giga, lengkap dengan fasilitas internet dengan koneksi super cepat. Jadi, kalau saya mau mencari buku tertentu tinggal ketik berdasarkan pengarang, atau berdasarkan topik, atau berdasarkan judul, dan komputer akan memberi tahu saya buku itu ada di kategori mana, di lemari tingkat berapa. Semua harus serba mudah. O ya, meski komputer ini dilengkapi internet connection super cepat, saya nggak mau meng-install komputer saya dengan Yahoo Messanger. Saya takut waktu saya malah habis buat chatting dengan teman-teman. Karena, kalau sudah chatting, saya sering lupa waktu. Apalagi, teman-teman hobby banget mem-buzz, kalau saya agak lambat merespon message mereka.

Di perpustakaan ini, saya akan siapkan juga kursi yang enak. Kalau bisa senyaman kursi-kursi sofa Chesterfield seperti dalam iklan Da Vinci. Saya juga akan tempatkan beberapa kursi tambahan yang nyaman, supaya sesekali saya bisa mengundang teman-teman dekat atau teman-teman pencinta buku buat ngobrol-ngobrol. Tentunya, obrolannya harus ada nyangkutnya sama urusan buku. Saya tidak mau menaruh TV di ruangan ini, karena menonton dan membaca merupakan dua kegiatan yang tak pernah bisa dikompromikan. Apalagi, kalau pas acara TV siaran langsung sepak bola Liga Inggris. Tidak, tidak. Semua harus ada tempatnya, ada waktunya dan ada ruangannya. Ruang membaca ya untuk membaca, ruang buat nonton bola kalau perlu dibikin khusus. Namanya juga kalau jadi orang kaya, iya nggak? Ruangan perpustakaan ini tak hanya berisi buku dan majalah. Di satu lemari saya dedikasikan khusus untuk materi audio. Entah itu kaset atau CD audio-book. Karenanya, ruangan itu juga harus memiliki rancangan akustik sempurna yang bisa memaksimalkan suara dari speaker yang juga harus dengan kualitas terbaik. Setiap desis sekecil apapun harus terdengar jelas. Di ruangan itu, akan saya sediakan juga sebuah coffee-maker plus memasang air-purifier, sehingga saya bisa membaca buku sambil ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok.... ahhh betapa menyenangkannya hidup. Ahhhh, betapa nikmatnya berandai-andai.

Kebiasaan ber-buku merupakan sesuatu yang ditanamkan pada saya semenjak kecil, tepatnya semenjak SMP. Selain membaca buku yang bapak saya berikan, saya juga kerap menghabiskan waktu sampai perpustakaan sekolah tutup sore hari. Selain membaca buku-buku yang biasa dibaca umumnya anak SMP, seperti Lima Sekawan, serial Winnetoe dan Old Shutterhand, komik Trigan dan Asterik, saya juga iseng membaca buku-buku ‘aneh’. Dari buku kamus Jawi Kuna, ensiklopedia yang teba-tebal, sampai Buku Catatan Harian Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Soe Hok Gie ini adiknya Arief Budiman, seorang tokoh demonstran era 60-an yang dikenal sebagai seorang demonstran yang gigih, jujur sekaligus setia pada perjuangannya... yang sayangnya mati muda terkena asap beracun sewaktu mendaki puncak Semeru. Tentu, saya tidak baca seluruh isi buku Catatan Harian ini, apalagi pengantarnya yang berupa ulasan ilmiah tentang sejarah ketokohannya. Terlalu berat buat saya waktu itu. Tapi, ketika membaca buku itu saya terkagum-kagum dengan wawasan dan bacaannya sebagai seorang siswa SMA. Ia sudah mikir politik dan baca Andre Gide waktu SMA (Andre Gine adalah penulis Perancis yang salah satu judul bukunya Simponi Pastoral). Belakangan, setelah saya kuliah, setelah membaca lebih menyeluruh buku itu lagi dan beberapa tulisannya, baru saya lebih sadari betapa luasnya pemikirannya. Betapa hebatnya dia, betapa perlunya kita orang-orang seperti dia.

Kehausan saya akan buku mulai menggila waktu SMP. Saya bahkan sempat mencuri buku perpustakaan hampir sekardus penuh. Jangan salahkan saya dulu, karena saya terdorong membobol perpustakaan lantaran Arswendo dalam tulisannya di majalah Hai jaman bahuela yang bilang; mencuri buku itu (kebiasaan) baik. Karena saya tidak bisa lepas dari buku, akhirnya saya putuskan untuk menjadi pengurus perpustakaan. Kebiasaan membaca ini untungnya juga ditunjang dengan sistem pendidikan SMA yang baik. Guru bahasa dan sastra saya waktu itu memberi tugas membuat sinopsis buku sastra. Kebiasan membaca dan meng-sinopsis inilah yang membuat preferensi buku saya cenderung ke buku-buku sastra dan teman-temannya. Ya, novel, ya roman, ya cerpen, puisi. Semua yang sifatnya fiksi. Kalaupun ada buku non fiksi, tentu masih ada hubungannya dengan fiksi, seperti buku kritik sastra, buku teknik menulis atau buku filsafat. Kalau saya mendapat tugas membuat sinopsis, saya selalu berusaha membuatnya sebaik mungkin dengan membaca buku-buku itu seserius mungkin. Tapi saya tidak terlalu suka membaca buku-buku era Balai Pustaka seperti, Siti Nurbaya atau Salah Asuhan. Buat saya waktu itu, buku-buku itu telalu berat bahasanya, terlalu melayu. Saya lebih memilih buku Mochtar Lubis (Senja di Jakarta, Bromocorah atau Harimau-harimau) atau buku-bukunya Iwan Simatupang atau Cermin Kaca Soekarno-nya Mayon Sutrisno. Mambaca sastra ternyata membawa keuntungan buat saya dan menuntup kelemahan saya di bidang pelajaran lain. Saya jadi tempat menyontek dalam ulangan bahasa dan sastra. Saya akan memberikan bisikan yang tepat siapa nama pengarang dan tokoh dalam buku Tenggelamnya kapal Van Der Wijk. Tapi sebaliknya, saya perlu teman-teman saya itu untuk pelajaran Aritmatika atau Akuntansi.

Beberapa teman SMA saya tidak suka membaca sastra lebih suka menyontek sinopsis dari yang rajin atau menjiplak dari buku sinopsis sastra yang memang tersedia di perpustakaan itu juga. Sebaliknya, ada seorang teman yang malah membuat 10 kali lipat jumlah sinopsis yang ditentukan oleh guru saya. Dia membuat 100 sinopsis...entah berapa nilai yang dia dapat. Ketika di SMA inilah, saya dipercaya menjadi wakil ketua perpustakaan. Yang membuat saya memutuskan beberapa buku perpustakaan yang sudah menetap di rumah serasa milik pribadi saya kembalikan ke tempatnya semula. Padahal ini sebenarnya menyalahi ‘falsafah’ dalam urusan ber-buku; “adalah bodoh meminjamkan buku pada orang lain, tapi lebih bodoh lagi orang yang mengembalikan buku yang ia pinjam.”

Dan sewaktu kuliah dulu (tahun 90-an), di antara kelompok bermain saya, sempat dihidupkan lagi sebuah semboyan yang awalnya ngetop di era 60-an dan 70-an; pesta, buku dan cinta. Jadi, waktu itu saya rajin menambah koleksi buku saya, entah itu buku baru atau buku bekas (biar saya nggak sekeren Nicholas, tapi adegan Rangga mencari buku bekas sudah saya lakukan dulu). Di kampus dulu, FISIP UI Depok, dua kali setahun diadakan acara Pasar Buku Murah. Biasanya kampus akan diserbu pedagang-pedagang buku bekas yang salah satu andalan utama jualannya adalah buku-buku terlarang saat itu. Buku-buku Pramoedya A. Toer yang sekarang bebas beredar dimanapun, dulu dilabeli harga yang tergolong mahal. Beruntung kebanyakan dari pedagang itu orang Batak, dan beruntung pula sebagai orang Batak kelahiran Jakarta saya masih bisa sikit-sikit berbahasa Batak dengan mereka. Jadi, saya sering dapat diskon lebih banyak dibanding teman mahasiswa lain. Pernah juga seorang teman mahasiswi mencoba kiat saya. Dia mencoba sok akrab dengan abang tukang buku itu dengan memanggil “lae”. Si pedagang itu tersenyum menahan tawa. Sebelum temen saya lebih bingung dan sebelum si abang berubah jadi marah, saya jelaskan saya kesalahannya. “Lae” itu panggilan sesama lelaki, panggilan pertama dan pendahuluan dari seorang lelaki kepada lelaki lain yang belum dia kenal silsilahnya. Ehhh, malah gantian teman saya yang tertawa sambil bilang “Udah deh, elo aja lah yang nawarin buat gue.”

Soal buku itulah, satu-satunya hal dari kebiasaan saat kuliah yang masih terbawa sampai sekarang. Kalau pesta, bukannya nggak suka pesta, rasanya waktu buat pesta semakin sedikit. Udah nggak seperti jaman kuliah, yang bisa impulsive pergi ke pesta atau ikutan acara disko kampus di Fire (di Plaza Indonesia, sekarang udah nggak ada...old school sekali ya) dengan duit ala kadarnya. Kalaupun ada waktu luang ke mall, pasti saya sempatkan ke toko buku. Dan counter yang saya lirik duluan pasti tempat buku sastra. Saya selalu tahu buku sastra apa yang baru. Kalau lagi ada uang pasti saya beli buku-buku baru itu. Kalau lagi pas-pas-an, akan saya catat dalam hati ‘besok-besok ke toko buku lagi, jangan lupa beli buku ini dan itu.’ Saya juga selalu melanggar badget untuk belanja buku kalau sudah ke toko buku. Cinta? Saya nggak akan cerita soal yang satu ini karena takut ‘bekas pacar’ saya di rumah malah jadi curiga, hehehehehehe.

Pernah, suatu kali sewaktu jaman kuliah dulu, saya nyaris masuk bui gara-gara buku. Suatu hari saya menginap di rumah teman dan saya menemukan buku-buku jaman kuliah ibu teman saya itu. Buku yang tebal debunya bikin bersin itu akhirnya bisa saya minta dari teman saya itu. Lalu, keesokan harinya dari rumah teman itu saya pergi ke seputaran Monas untuk melihat aksi demo sebagai protes atas pembreidelan Tempo tahun 1994. Saya bukan aktifis ataupun demonstran. Saya datang ke sana, karena kebetulan saya kuliah di Komunikasi Massa yang mau tidak mau perlu tahu apa yang sedang dialami oleh dunia pers saat itu. Jadi, saya datang ke sana dengan harapan tidak akan terjadi apa-apa. Ini toh cuma demonya wartawan dan para simpatisannya. Nggak akan wartawan bikin keonaran, saya pikir. Tapi, ternyata saya keliru. Saat saya asyik memegang salah satu poster demo yang diberikan pada saya, tiba-tiba segerombolan polisi menyerbu dan mementungi peserta demo. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dramawan Rendra digebuki dan ditangkap bersama peserta demo lainnya. Melihat situasi yang diluar dugaan saya, dengan rasa takut yang saya tegar-tegarkan saya berjalan pelan menjauh seolah tidak terjadi apa-apa. Biar kelihatan lebih tenang lagi, saya bahkan menyalakan sebatang rokok. Entah kenapa saya bisa lolos. Dan setelah jauh baru saya bisa bernafas lega. Mendadak kaki saya gemetaran ketika ketika sadar apa yang ada di tas saya. Sebuah buku yang baru saja saya minta dari teman saya. Sebuah buku karangan Lenin tentang komunisme yang tebal debunya bisa bikin bersin, yang pasti akan mengantar saya ke penjara. Biarpun saya bersumpah seribu kali belum membaca buku itu dan tidak tahu-menahu apa makna buku itu dan apa itu komunisme, pasti saya langsung masuk penjara. Bayangkan jika seandainya saya ikut tertangkap. Saya akan dipenjara dengan tuduhan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya; subversif. Iiiiih tatuuuuuut.

Ya, buat saya buku itu seperti pacar, seperti istri, sekaligus seperti anak sendiri. Saya selalu memulai hari dengan buku. Tepatnya, buku bahkan menemani ‘aktifitas rutin’ saya di kamar mandi. Karenanya, di lubang angin kamar mandi selalu ada saja 2 atau 3 buku yang saya taruh di sana. Dan yang saya paling suka buat menemani acara rutin ‘panggilan alam’ adalah buku-buku spiritual. Jadilah kamar mandi semacam ruang meditasi buat saya. Satu dua halaman, pikiran terang, pencernaan pun tenang. Jangan salah lho, ada yang bilang bahwa kamar mandi adalah tempat ideal bagi kelahiran dan persemaian ide-ide segar. Beberapa penulis mengaku mengalami pencerahan saat ‘merenung’ di kamar mandi. Selepas mandi dan beres-beres untuk berangkat kantor, saya pasti ngecek ada buku atau tidak di tas saya. Kadang saya terlalu ambisius membawa 2 atau tiga buku, yang ujung-ujungnya paling satu atau dua halaman yang terbaca oleh saya. Tapi karena sudah kebiasaan, kemanapun saya pergi setidaknya saya membawa sebuah buku. Salah satu hal yang menyenangkan kalau pergi ke kantor dengan kendaraan umum, entah itu naik bis atau naik kereta Express Pakuan, saya bisa menghabiskan puluhan halaman kalau saya tidak terbawa kantuk. Maklum, perjalanan dari rumah di Bogor sampai Jakarta bisa satu setengah jam sendiri. Kenikmatan itulah yang hilang kalau saya bawa mobil sendiri.

Saya nyaris terobsesi dengan segala hal yang berhubungan dengan buku. Sampai-sampai, salah satu point dalam daftar syarat mencari pacar ialah perempuan ini haruslah seorang penggemar buku. Makanya, buat saya, kalau tidak mau saya bilang semua lelaki harusnya juga seperti itu... seorang lelaki haruslah pencinta buku. Meski pada dasarnya, buku tidak punya hubungan dengan gender. Karena, sangat banyak perempuan yang pembaca buku, penulis buku dan tergolong kaum pintar. Tapi, lelaki punya beban stereotype yang dibangun secara turun-menurun oleh sejarah yang telah dikritik sebagai sebuah sikap bias gender. Sterotype yang membedakan perempuan sebagai mahluk emosional dan lelaki sebagai mahluk rasional. Sterotype ini sudah terbukti salah. Tapi, saya pikir, seorang lelaki masih perlu modal untuk menghadapi dunia laki-laki yang masih menyisakan tradisi sterotype itu. Dan bukulah senjata seorang lelaki jaman sekarang. Karena dari buku, seorang lelaki bisa menghadapi sekumpulan lelaki yang jika sudah kumpul cenderung tak mau kalah. Karena, ketika lelaki berkumpul masih tersisa kebiasaan untuk beradu pintar. Dari obrolan di warung kopi pinggir jalan sampai cafe atau coffee shop di mall, kaum lelaki lah yang biasa bersuara keras bila berdebat dengan lawan bicaranya. Kaum lelaki bisa ngobrol dengan dahi berkerut sampai berjam-jam, apalagi kalau sudah urusan perempuan atau politik. Tapi, beradu mulut jelas masih jauh lebih enak ketimbang lelaki beradu otot, apalagi beradu pedang. Sudah bukan jamannya. Lidah lebih tajam dari pedang; kata para bijak sejak jaman dahulu.

Buku juga perlu buat seorang lelaki untuk menaklukkan perempuan. Karena, dengan membaca buku sastra misalnya, seorang lelaki punya tempat dimana dia berkomunikasi dalam bahasa yang bukan bahasa sehari-hari. Buku sastra mampu mengasah rasa seorang lelaki, sehingga ia bisa mengatakan “I love you” dengan cara lain selain ketiga kata itu. Bahasa sastra bisa menghaluskan bahasa sehari-hari yang cenderung langsung, keras bahkan kasar. Meski belajar dari pengalaman tidak bisa ditinggalkan, buku bisa membekali seorang lelaki dalam memahami dunia perempuan. Dari buku bahkan, kita bisa tahu bagaimana kecenderungan perilaku seks perempuan. Bahwa fore play itu sepenting afer play, bisa kita temukan dalam buku. Dengan membaca buku, seorang lelaki tak lagi hanya menulis “Good Luck” atau “Happy B’day” pada kartu ucapan yang dia kirimkan. Dengan buku ia bisa membuat kalimat-kalimat puitis, kocak dan memikat. Banyak topik menarik saat berbicara dengan seorang perempuan, jika seorang lelaki hobby membaca. Ngomongin Supernova-nya Dee, cowok metroseksual, zodiak, psikologi popular, atau bahkan tentang ada tidaknya UFO atau kehidupan lain selain di bumi ini. Tentu saja, kita harus pandai-pandai mengukur respon lawan bicara kita. Jangan seperti teman saya yang sudah saya nasehati berkali-kali, karena dia selalu membuka pembicaraan soal politik meski dengan perempuan yang baru ia temui sekalipun. Teman saya ini orang pintar (maksud saya bukan paranormal tentunya), tapi mungkin ia terlalu tergesa-gesa ingin mendapatkan teman perempuan sepintar dia, yang bisa jadi teman bicara tentang semua yang ada dalam isi kepalanya. Karena, saya berani bertaruh, bahkan seorang perempuan yang aktifis partai politik pun belum tentu happy kalau baru ketemu cowok langsung diajak ngomong soal pulitik.

Seorang lelaki perlu membaca buku, karena membaca buku semakin hari semakin menjadi trend, bahkan terkesan seksi. Jelas, buku sedang jadi trend. Sekarang, buku baru lebih cepat frekuensi, volume dan variasi judulnya lebih beragam. Sampul buku jauh lebih menarik dan mengiktui perkembangan dunia grafis. Kertas buku pun, jauh lebih beragam. Toko bukupun tak lagi semembosankan dulu. Toko-toko buku lama seperti Gramedia dan Gunung Agung-pun jauh lebih menarik dibanding dahulu. Dan selain toko buku itu, telah bermunculan toko-toko buku dengan konsep baru. Lihat saja banyaknya toko-toko buku baru, ada Aksara atau QB, yang lebih lengkap koleksi buku-buku importnya, dilengkapi cafe yang membuat toko buku juga bisa jadi sarana rekreasi. Sekarang, saya nggak perlu ngumpet-ngumpet dan pegal berdiri membaca satu buku di Gramedia seperti waktu SMA dulu. Di toko-toko buku baru itu, kita tinggal pilih bukunya bawa ke cafe-nya, baca-baca dulu, browsing-browsing dulu, sambil ditemani secangkir kopi atau teh. Di cafe itu, bahkan kita boleh membaca sambil merokok. Konsep toko buku plus cafe ini konon diadopsi dari luar negeri. Di Amerika, cafe Starbucks selalu mengisi salah satu sudut toko buku Barnes and Noble. Soal seksi? Lihat saja efek heboh dari film ‘Ada apa dengan Cinta?”. Gara-gara film itu, cowok cool, pendiam, puitis dan kutu buku model Rangga jadi benchmark baru cowok idaman. Sekarang, lelaki kutu-buku tidak lagi identik dengan lelaki yang asosial, tidak gaul, dan menghabiskan seluruh waktunya dengan kaca mata tebal setebal pantat botol. Makanya, saya yakin, teman saya yang bikin 100 sinopsis buku tadi pasti lebih mudah mendapatkan pacar.

Buat saya seorang lelaki yang kaya adalah seorang lelaki yang hidup batinnya penuh pengalaman dan wawasan. Dan saya percaya, selain seorang lelaki bisa memperkaya hidup dengan beragam peristiwa yang dialaminya, ia juga bisa memperkaya hidup dengan pengalaman orang lain yang telah dituangkan dalam buku. Entah itu pengalaman seorang lelaki, entah itu kehidupan seorang perempuan. Entah itu berupa novel, roman, cerpen, puisi, biografi, buku-buku non fiksi lainnya (buat yang terakhir ini kalau bahasanya ruwet sering bikin saya mumet) atau ‘sekedar’ membaca majalah-majalah wanita. Saya bilang sekedar pakai tanda petik, karena dari majalah wanita sebenarnya saya banyak mengintip sisi-sisi yang tidak saya ketahui dari seorang perempuan. Yang bisa berguna buat pemahaman saya, yang suatu saat akan berguna bagi pekerjaan saya. Seperti sebaliknya, wanita juga ingin tahu pandangan lelaki melalui rubrik Malebox majalah Herworld ini.

Banyak buku dan pengarang yang telah menemani saya selama ini. Dari penulis cerita silat Kho Ping Ho, saya mengenal kehidupan di Tiongkok masa dinasti Chin dan belajar model berceritera yang sederhana tapi dengan kandungan falsafah hidup yang tidak sederhana. Kho Ping Ho kadang mengajukan pandangan provokatif melalui tokohnya, seperti ketiadaan cinta tanpa pamrih. Meski berformat buku saku, tapi saya sarankan jangan mulai membacanya kalau tidak siap ketagihan. Sudah banyak ‘korban’ Kho Ping Ho, yang jadi telat makan, lupa waktu dan ‘sakaw’ alias ‘sakit tergila-gila dunia kangow’ (kangow adalah bahasa dalam bukunya untuk menyebut dunia persilatan). Karena satu judul bukunya bisa terdiri dari 30-an jilid buku berukuran saku. Tapi tunggu dulu, belum selesai. Karena, bisa jadi judul itu adalah judul pertama dari sebuah serial panjang yang terdiri dari 5 sampai 10 judul buku. Hebatnya lagi, syahdan, pak Kho Ping Ho ini tak pernah pergi ke Tiongkok sana. Tapi, dari cerita-cerita silatnya terbayang dalam imajinasi kita kota-kota di Cina yang eksotis, gunung-gunung batu menjulang tersaput kabut dan adegan-adegan perkelahian yang bahkan lebih indah dibanding film Crouching Tiger, Hidden Dragon.

Dari buku-buku Pramoedya A. Toer misalnya, saya belajar bagaimana kepahitan hidup dan romantisme di masa perang bisa membawa imajinasi seseorang berpetualang melintas waktu. Buku Arus Balik-nya yang menjelajah ke masa-masa awal kedatangan Portugis ke Nusantara dulu mampu menghadirkannya kembali seakan-akan kapal-kapal utusan raja Portugis itu sedang berlabuh di halaman rumah kita. Pram membuktikan, buku-bukunya boleh dibakar tapi ingatannya akan semua peristiwa yang dialaminya dan semua buku yang telah dibacanya akan bertemu dan menjadi racikan bermutu bagi karya-karyanya yang nyaris melegenda. Seri buku Tetralogi-nya (Bumi Manusia hingga Rumah Kaca), terus mengalami cetak ulang dan pantas disebut sebagai salah satu karya terbaik sekaligus terpopuler. Saya masih punya buku Pram yang berjudul Korupsi keluaran tahun 50-an yang saya beli saat SMA di toko buku bekas. Buku yang bercerita tentang dilema seorang pegawai rendahan yang berniat korupsi itu kini terbit lagi dalam cetakan baru. Meski sempat dianggap buku terlarang, buku-bukunya bahkan telah diterjemahkan kedalam puluhan bahasa asing. Sempat disebut-sebut juga Pramoedya dinominasikan sebagai peraih hadiah Nobel.

Dari puisi-puisi Sutardji CB sang Presiden Penyair Indonesia, saya menikmati permainan kata yang dituturkan sebagai mantraYang bisa saya nikmati tanpa perlu terlalu memusingkan maknanya apa. Cerpennya Hujan Menulis Ayam, tentu bukan bercerita tentang kejadian nyata. Tapi, ketika membaca telah menjadi rasa siapa yang perduli dengan sesuatu yang nyata. Kenikmatan membaca puisi juga banyak saya peroleh dari puisi-puisi Sapardi atau Subagyo Sastrowardoyo, yang terasa begitu liris dan romantis memandang hidup. Atau puisi-puisi Rendra yang menyajikan wajah lain dengan sajak-sajak pamfletnya dulu. Disebut pamflet, mungkin karena pilihan katanya seperti pampflet demonstran yang sedang berorasi. Kata-katanya keras, getas, menghardik, menuntut rasa keadilan. Bicara soal puisi, ada sebuah film Italia yang bercerita tentang Pablo Neruda sang penyair Spanyol yang mengasingkan diri ke perbukitan sebuah desa di Itali. Film ini berceritera persahabatannya dengan seorang pengantar surat. Film yang berjudul “Il Postino” ini buat saya nyaris seperti buku puisi. Karena, selain menceritakan bagaimana Neruda menjelaskan pada sang Il Postino bagaimana ia berkreasi, bagaimana ia bermain metafora, film ini juga beralur seperti puisi yang indah sekaligus getir. Dan ketika sang pengantar surat tertembak dalam sebuah aksi protes, Neruda menulis sebuah puisi yang masih saya simpan copy-annya sampai sekarang.

And it was at the age...poetry arrived insearch of me.
I don’t know, I don’t know where it came from, from winter or a river
I don’t know how or when,
No, they were not voices, they were not words, nor silence,
But from a street I was summoned, from the branches of night, abruptly from the others,
Among violent fires or returning alone, there I was without a face and it touched me...


Jujur saja, saya tidak terlalu tahu persis artinya apa. Tapi, di pelupuk mata mengambang butir tangis waktu menonton adegan terakhir film yang ditutup puisi ini.

Dari khazanah buku roman, salah satu yang membekas adalah Saman-nya Ayu Utami. Dimana, saya belajar bagaimana sebuah fragmen hidup tokoh-tokohnya yang penuh lika-liku yang dapat disampaikan dalam tuturan yang puitik. “terbang bermil-mil jauhnya dari sebuah negeri yang tak mengenal musim”...alangkah indahnya. Dari Mahesa Jenar, saya menikmati suguhan petikan kehidupan manusia kontemporer yang disampaikan dengan cara yang segar, baru dan tanpa rasa ragu menghadapi tabu seperti dalam bukunya, “Panggil Saya monyet”. Dan sungguh tak terpikirkan oleh saya sebelumya, bahasa SMS bisa dirajutnya menjadi sebuah cerita yang penuh kejutan. Dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, saya mencerna kemampuannya menyampaikan beberapa pemikiran, beberapa kejadian, dalam satu halaman majalah secara menarik, bernas, meski kadang-kadang saya dibuat pusing.

Dari dunia cerpen saya masih terkagum-kagum dengan kumpulan cerpen Seno Gumira, Jazz, Parfum dan Insiden. Baru dari buku itu saya bisa menikmati parfum merek-merek ternama ‘disemprotkan’ dalam kata-kata yang seakan kita sedang mengendusnya. Dan, dengan kata-kata pula kita bisa membedakan mana aroma Poison mana aroma Envy. Dahsyat. Masih banyak lagi cerpen Seno yang saya suka. Hampir semuanya segar penuh kejutan. Di tangannya sebuah peristiwa sepele bisa jadi urusan panjang yang tak membosankan. Coba saja baca Pelajaran Mengarang, dijamin setelah mambacanya tersisa rasa ngenes. Atau, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, yang akan membuat kita tersenyum betapa urusan sesepele itu bisa bikin heboh orang sekampung sampai-sampai dikeluarkan larangan.

Buku buat saya adalah sahabat rohani saya. Semua buku sebenarnya punya kekuatan rohani seperti itu. Meski begitu ada beberapa buku yang memang menjadi sumber dan teman olah spiritual. Buku-buku yang berisi tulisan-tulisan atau cerita-cerita pendek seperti karangan Antony De Mello, Jalaluddin Rumi, Anand Krishna, biasanya menyarankan dosis ideal agar sebuah cerita menemukan jalannya dalam kesadaran kita. Satu hari cukup satu cerita. Tapi, saya lebih sering tergoda untuk membaca 3 sampai 4 cerita. Meski kalimat buku seperti itu pendek-pendek dan terkesan sederhana, tapi kekuatannya mampu men-jedotkan kekakuan, kefanatikan dan kesombongan kita tentang kebenaran yang kita yakini selama ini. Buku-buku sederhana ini bahkan bisa mengingatkan kita bahwa kehidupan ini terlalu besar dan luas hanya untuk sebuah keyakinan akan kebenaran yang picik. Salah satu petuah Rumi, misalnya, “Barangsiapa melihat sesuatu pada sebab-sebab, maka ia akan menjadi pemuja bentuk. Namun orang yang mampu menatap pada ‘sebab pertama’, maka ia akan menemukan cahaya yang memancarkan makna.” Rumi adalah seorang sufi asal Persia yang mengabdikan hidupnya untuk memuaskan kerinduannya pada sang khalik yang dia panggil sebagai kekasihnya. Rumi pula yang mengajarkan saya tentang keagungan cinta yang melebihi apapun; “Cinta adalah isi, dunia sekedar kulit. Cinta seperti manisan dan dunia hanyalah pancinya saja.”

Masih banyak lagi buku-buku yang buat saya sangat memperkaya hidup saya. Tapi, mungkin Anda masih bertanya; masa sih kalau kaya cuma beli buku dan baca buku doang? Maunya saya, saya tidak berhenti hanya dengan membaca. Sayangnya memang, satu fase dalam kehidupan ber-buku belum lagi saya lakukan; menulis buku. Saya pikir, seorang pembaca buku yang baik punya potensi menjadi penulis buku yang baik. Sampai saat ini saya belum menulis sebuah buku pun. Yang saya lakukan malah menulis kata-kata dan kalimat-kalimat pendek yang dibuat harus seefektif mungkin, sekaligus semenarik mungkin, untuk media TV, radio dan media cetak. Ya, saya menulis untuk iklan. Saya menulis bukan untuk mempromosikan kepenulisan saya, tapi untuk menjual sebuah produk, entah itu rokok, minuman, properti, department store atau mobil. Tapi, setidaknya saya senang dengan pekerjaan saya. Karena, saya dibayar untuk menulis, dibayar untuk mengarang sebuah cerita untuk iklan TV berdurasi 30 detik. Saya dibayar untuk menghayalkan sebuah cerita iklan radio yang akan membuat pendengarnya tertawa. Saya berterima kasih pada buku. Karena, setidaknya saya telah merasakan manfaat buku buat karir saya sebagai pekerja kreatif di biro iklan. Dari buku-buku itu (selain buku-buku tentang periklanan tentunya) saya belajar, tentang bagaimana sebuah ide lahir, bagaimana sebuah ide cerita berkembang menjadi sebuah konflik yang memukau, termasuk bagaimana memilah bahkan mengiris-iris kata dan bunyi untuk manyampaikan sebuah pesan. Dari bekal itu lah saya menulis iklan. Tapi, saya sadar betapa banyaknya pihak yang terlibat dalam pembuatan sebuah iklan. Iklan memang bukanlah seni murni tempat saya bisa memuaskan ego saya. Meski saya mendapat bayaran yang lumayan dengan menulis (membuat ide iklan), saya masih menganggap menulis buku jauh lebih sulit sekaligus jauh lebih menarik. Karena itu saya masih berhutang satu proyek bagi diri saya sendiri; menulis buku.

Seorang lelaki perlu mencintai buku, karena hidup ini pun seperti sebuah buku yang kita buka sehalaman demi sehalaman setiap hari. Atau bahkan, setiap kejadian dalam hidup ini hanyalah sebuah kalimat dalam sebuah buku besar. Buku yang kita masing-masing pemeran utamanya. Suatu hari, dari buku besar itu saya ingin membuat buku kecil. Buku kecil saja, tentang sesuatu yang kecil saja. Sekecil urusan menyanyi di kamar mandi, sekecil Little Prince yang bicara tentang ular dan gajah, sekecil butir hujan yang menetes di bulan Juni. Tapi, repotnya, soal menulis buku bukan soal gampang. Meski Arswendo pernah bilang, Menulis Itu Gampang. Tapi karena saya malas berlatih, saya selalu berhadapan dengan Tirani Kertas Putih. Setelah berkutat berjam-jam saya hanya berhadapan dengan halaman kosong. Lucunya, saya juga selalu mengalami writers block. Lucu khan, belum pernah nulis buku ngaku jadi penulis. Jadi, balik ke jawaban saya di atas; pilih kaya supaya bisa punya perpustakaan seperti khayalan saya tadi...mungkin. Tapi, pilih kaya supaya bisa leluasa menulis buku...rasanya tidak sesederhana itu. Karena, mau sekaya apapun kalau tidak pernah mulai dan belajar menulis secara bertahap hasilnya akan tetap halaman kosong.

Salam hormat saya buat semua penulis Dunia maupun Indonesia. Anda semua adalah terang dunia.

Wednesday, January 19, 2005

Five of Wands: Arti sebuah keberanian



Lima pemuda dengan tongkat kayunya masing-masing sedang terlibat dalam suasana pertempuran. Tongkat kayu melambangkan api kehidupan. Dengan kegairahan dan semangatnya, mereka saling merangsek. Sebuah cerita tentang kompetisi, pertarungan, pertengkaran. Sebuah simbol mengenai keberanian, rintangan, halangan, permainan, nyali, kasus atau sebuah keributan.

Hidup tanpa keberanian adalah hidup yang sia-sia. Hidup dan keberanian adalah ibarat tubuh dan bayang-bayang. Kemana pun kita pergi dalam hidup ini, kita perlu keberanian. Sejak kecil dalam kepolosan kita sebagai seorang bayi merah, kita bergerak dan berekspresi penuh keberanian. Tentu semua pergerakan itu dipandu oleh sebuah sistem sempurna bernama; hukum Alam. Dan deklarator hukum itu tak lain adalah Tuhan sendiri. Kita manusia dewasa menamakan mekanisme hidup si bayi itu sebagai insting.

Hidup ini begitu penuh pilihan, maka beranilah memilih. Apapun pilihan yang kita ambil selama berpijak dari pemahaman tentang hidup yang utuh tak akan menjadi pilihan yang salah. Seorang korban gempa Tsunami Aceh berhasil bertahan hidup selama berhari-hari terapung di laut lepas. Apa yang membuatnya memiliki energi mukjijat yang membawanya pada pertemuan dengan penyelamatnya? Sebuah sikap jiwa bernama keberanian. Ketika ia bertekat, “aku ingin hidup”. Dan terjadilah. Ia menjadi salah satu pencerita yang real tentang bagaimana energi hidup dari sebuah keberanian membuatnya selamat.

Keberanian adalah sebuah iman. Apa yang membuat Muhammad yang buta huruf berani mewartakan sang Sabda yang telah berbicara dengannya? Keberanian mendengar tuntunan terang Ilahi. Apa yang membuat Siddharta berani meninggalkan gemerlapnya istana dan hidup dengan apa yang didapatnya saja selama perjalanannya? Keberanian mencari kebenaran sejati. Apa yang membuat Yesus menerima semua penderitaan yang ditanggungnya hingga desah nafas terakhirnya di kayu salib? Keberanian menerima rencana Ilahi yang telah digariskan padanya. Apa asal-muasal Bandara yang penuh pesawat dan bergantian terbang dan mendarat? Keberanian Wright bersaudara mewujudkan sesuatu yang dianggap mustahil pada jamannya.

Keberanian adalah sebuah iman. Ketika kita mendengar, melihat dan berbicara dengan hati kita, maka apapun tindakan, pikiran dan ekspresi yang kita lakukan bukan keberanian lagi namanya. Ia sudah menjadi iman yang hidup.

Beranikah kita mendengar intuisi kita? Beranikah kita berbeda dari cara kebanyakan orang memahami sesuatu? Beranikah kita mengimani (katakanlah) keagamaan secara berbeda, sebagaimana hati kita membimbing kita? Beranikah kita hidup tanpa surga dan neraka (“jika surga neraka tak ada masihkah kau menyebut namaNya” – Dewa)? Beranikah kita keluar dari comfort zone kita demi cita-cita yang mungkin tak akan nyaman untuk dijalani? Beranikah kita diam ketika semua bicara? Beranikah kita bicara ketika semua diam? Beranikah kita membunuh keberanian kerdil yang dipenuhi ego?

(Rabu, 16 Januari 2005)