Tuesday, February 22, 2005

Why Tarot?



Minggu tanggal 20 Februari kemarin, saya berada di Bandara Ngurah Rai Bali menunggu pesawat buat pulang ke Jakarta. Pesawat Adam Air yang rencananya berangkat pukul 17 lebih waktu setempat akhirnya didelay sampai dua kali. Baru jam 20 lebih pesawat benar-benar take off ke Jakarta. Meskipun kesal, di Bandara saya masih bisa mengisi waktu dengan membaca dan menikmati makan-minum gratis di Executive Lounge dari bank kartu kredit saya. Entah saya harus bayar berapa untuk makan dan minum nonstop kalau tak punya kartu kredit (bukan promosi nih..hehehehhe). Meskipun jadi terlambat sampai Jakarta, akhirnya saya memilih perasaan ‘nggak apa-apa’ dengan situasi itu. Kenapa? Sederhana saja. Meskipun keterlambatan untuk sebuah maskapai udara cukup tidak bisa ditolerir dalam ukuran profesionalitas, tapi saya bisa menerimanya sebagai hasil dari ‘perencanaan’. Pesawat itu bukan kebetulan terlambat.

Mungkin ada masalah teknis, mungkin ada cuaca yang buruk, mungkin ada alasan-alasan lain yang tidak mungkin saya mengerti sebagai awam dalam dunia aviasi. Mungkin, kalau pesawat itu tepat waktu akan melintasi cuaca buruk yang bikin saya lebih semaput. Lebih parah lagi, bisa saja terjadi kecelakaan. Mungkin, kalau pesawat itu tepat waktu setiba di Jakarta saya dirampok supir taksi berengsek yang saya tumpangi. Mungkin kalau pesawat itu tepat waktu, di Soekarno-Hatta saya terpikat seorang wanita super cantik yang ternyata naksir saya duluan pada pandangan pertama dan akhirnya saya nggak jadi pulang ke rumah ketemu anak dan istri malah larut dalam petualangan asmara yang saya nggak tau ujungnya dimana. Kemungkinan lain, bisa saja karena tepat waktu pas saya sampai Soekarno Hatta sedang ada razia calo dan saya ditangkap lantaran tampang mirip-mirip calo tiket. Atau bisa terjadi kejadian-kejadian aneh, lucu atau berbahaya lainnya. Agak berlebihan mungkin memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Tapi bisa jadi, agak berlebihan juga kalau saya terlalu marah dan kesal sendiri nggak keruan. Pesawat itu terlambat bukan karena kebetulan. Bagi saya, tak ada yang namanya kebetulan dalam hidup ini. Untuk sebuah alur cerita, rasanya lebih seru kalau membaca yang berpinsip ‘tidak ada yang kebetulan’ ketimbang buku yang banyak faktor kebetulannya. Jelas lebih seru baca “Da Vinci Code” yang konspiratif ketimbang “Lima Sekawan” yang banyak kebetulannya. Untuk batin saya sendiri, jauh lebih penuh ungkap syukur kalau saya ‘bukan karena kebetulan’ naik gaji atau dibajak perusahaan lain dengan gaji 4 kali lipat, ketimbang saya berpikir semua itu cuma kebetulan belaka.

Seperti juga, ketika sebelum ke Bandara di Bali saya mengikuti dorongan hati saya untuk bertemu kakak ipar saya dan temannya untuk sekedar makan siang bareng. Bukan kebetulan juga saat kami makan siang di sebuah kafe di tepi pantai Kuta, saya nyerocos hal-hal yang biasanya sering saya tahan. Bukan kebetulan kalau kami ngobrol loncat-loncat dari satu topik ke topik lain. Bukan kebetulan, kalau saya baru bertemu dengan temannya kakak ipar saya itu dan beberapa menit kemudian langsung terlibat topik pembicaraan yang agak tidak umum terjadi pada dua orang asing yang baru bertemu.

Bukan kebetulan juga, kalau suatu hari dalam perjalanan hidup saya tertarik dan mencoba menekuni ilmu baca Tarot. Bukan kebetulan, kalau ketika satu kartu yang saya comot dari dek kartu Tarot yang saya tebar...ternyata yang muncul kartu Wheel of Fortune untuk pertanyaan “apakah dia jodoh saya?”.

Ada 78 kartu yang berbeda yang masing-masing kartunya bisa punya beberapa makna. Itulah indahnya ilmu simbolisme Tarot, yang usianya telah ratusan tahun tersembunyi sebagai ilmu rahasia, yang jumlah 22 kartu Arkana Utamanya sama persis dengan jumlah 22 abjad Hebrew. Dalam Tarot, kita tidak membaca artinya secara text book, tapi kita membacanya pakai bahasa alam bawah sadar. Konon, ketika terjadi kontak antara si pembaca dan penanya, ada satu perpustakaan semesta yang kita bisa akses untuk mencari jawaban untuk pertanyaan apapun. Tapi, tentu saja membaca tarot tidak sekedar kocok-kocok kartu, buka-buka kartu lalu ngoceh sambil ketawa-ketiwi (walaupun pembacaan Tarot juga tak perlu seseram gambaran kayak di film-film yang menampilkan pembaca Tarotnya yang gipsi-an dan penuh misteri). Konon, si pembaca perlu persiapan tertentu untuk mengasah intuisinya agar tepat memilih arti mana dari sederetan arti dari satu kartu yang akan menjadi jawaban atas satu pertanyaan. Salah satu persiapannya adalah meditasi. Konon, di satu titik kartu-kartu bergambar indah itupun tak perlu lagi ketika seseorang bisa membaca orang lain sejelas buku yang terbuka. Kartu-kartu itu hanya menjadi medium saja.

Bukan sulap, bukan sihir..banyak hal yang saya dapatkan dari belajar Tarot. Bukan sulap, bukan sihir kalau jawaban yang saya kasih ‘kebetulan’ pas dengan pertanyaan penanya pada saya. Bukan sulap, bukan sihir...kalau satu kali saya tak mampu menjelaskan lebih baik dan lebih jauh apa, mengapa dan bagaimana Tarot itu.

Bukan sulap, bukan sihir...hanya misteri-misteri yang belum terungkap. Ketika terungkap, tak ada lagi misteri. Apa yang tidak biasa menjadi biasa. Apa yang aneh menjadi wajar sekali. Kita sudah kadung diajar kalau kita ini terbatas dan batasnya adalah apa yang kita bisa tahu. Padahal konon, apa yang kita tidak tahu tidak berarti tidak (pernah) ada.

Tarot bagi saya seperti kata guru dan master Tarot, bisa menjadi sebuah jalan...sebuah jalan yang lain, yang seru, menarik, lucu, penuh kedalaman, penuh kesejukan tapi sekaligus penuh kejutan dahsyat.

Bukan sulap, bukan sihir, bukan kebetulan....

Thursday, February 17, 2005

sekerat rindu



aku tak pernah tahu apa kau dulu, aku tak pasti siapa kau nanti
yang kutahu; ada gamang mencengkeram waktu, ada galau mengisi ruang
sebuah wajah yang asing mengendap diam-diam, menatap lalu menyergap sedakapku
usai itu kau tak lagi asing ketika sekelebat kemudian kau pergi sambil meninggalkan
ratusan bahkan jutaan fragmen-fragmen yang kau tebar menjadi keping-keping teka-teki yang indah
bandang airmata membalut keping-keping yang kini mulai kusatukan
bandang airmata menghitung waktu yang tersisa untuk rindu ini

“Masih seperti kemarin”


(bercerita dalam 100 kata)



Burung-burung bangkai itu sudah berputar-putar. Mata merah menyala, tebing terjal, kerontang kering, pucuk puncak... semua masih sama. Batu keparat inipun masih sama. Peluh kecut dan nafas sialan inipun masih tak mau kompromi. Semuanya masih seperti pagi kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Juga menyebalkannya orang-orang di kaki bukit itu. Mula-mula mereka menatapku penuh perhatian ketika aku mulai mendaki sambil mendorong batu ini. Setibaku di puncak, mereka akan terpingkal-pingkal sambil sesekali menyebut namaku. Menyebut untuk arti yang masih sama, “Bodoh...bodoh...masih juga kau lakukan itu?”

Dari atas puncak aku menatap batu itu menggelinding. Suara gemuruhnya tertutup gelak tawa keparat-keparat yang memanggil-manggil namaku, “Sisifuuuuuuus”.