Thursday, April 28, 2005

Satu, Hiji, Uno, Sada, Un, Siji, Ciek, Een, One....

Karena lagi punya banyak waktu luang saya jadi sering nontonin gosip di program infotainment TV. Ternyata lagi santer ribut-ribut soal Dewa versus Boss FPI. Yang saya liat, bocah-bocah Dewa kayaknya lebih santai dibanding responnya pak ustad Ridziek. Dari polemik mereka soal logo kaligrafi Islam yang konon berbunyi Allah, setelah menikmati album Dewa bertajuk Laskar Cinta itu, saya simpulkan nggak bakal ada titik temu diantara mereka. Kalaupun ada ‘titik temu’ itu pasti semu dan sekedar kompromi palsu. Yang satu (Dewa) memang sedang asyik dengan kecintaan mereka. Yang satunya lagi tidak memahami cinta mereka itu dan sambil mengatas namakan agama, mengatas namakan Allah, mengatas namakan ketersinggungan umat, terus menghujat dan menuntut permintaan maaf. Permintaan maaf yang bahkan Tuhan sendiri mungkin nggak minta dari anak-anak Dewa itu.

Dari sekian lagu di album yang mungkin dapat publikasi gratis dari polemik yang diekspose nyaris oleh semua program infotainment itu, lagu berjudul Satu lah yang paling istimewa buat saya. Video klipnya juga cukup sitimewa. Lumayan liris, puitik dan surealis. Inilah lagu tentang tauhid, lagu tentang bagaimana seharusnya kita mengesakan Tuhan.

Menikmati lagu ini, saya jadi teringat tulisan-tulisan Rumi dan tulisan-tulisan tentang Rumi. Jalalludin Rumi yang begitu penuh cinta pada Khaliknya. Sang murid yang begitu mencintai sang Murshid. Sang sufi yang mempersembahkan segala-galanya demi cintanya itu. Cinta yang getar-getarnya mungkin hanya bisa dirasakan Rumi sendiri. Cinta yang sulit diceritakan, yang hanya bisa dan hanya harus dialami sendiri. Tak ada cara lain.

Sejarah memang penuh pengulangan. Orang-orang yang tak tahu sucinya cinta seperti itu memberangus, memaki, menghujat, bahkan tega membunuh. Orang-orang yang berlagak suci tapi tak bisa merasakan getar cinta yang suci itu. Orang-orang yang rajin meminjam ayat demi ambisi bejat mereka. Orang-orang yang mengaku paling tahu tapi sama sekali tak tahu. Telah banyak martir menjadi korban orang-orang seperti mereka di setiap jaman.

Ah sudahlah, koq jadi marah-marah gini. Btw, ada satu lagu yang ternyata setelah dinikmati punya makna yang bicara cinta seperti itu juga.

Dan bila aku berdiri tegap hingga hari ini
Bukan karena kuat dan hebatku
Semua karena cinta
Semua karena cinta

Ingat gak lagu apa? Yup....lagunya Glenn Fredly yang dinyanyikan pemenang Indonesian Idol, Joy dan Delon...

Itu beberapa lagu pilihan saya...boleh tahu lagu pilihan kamu?

Satu (dewa/ahmad dhani)

Aku ini…adalah dirimu
Cinta ini…adalah cintamu
Aku ini…adalah dirimu
Jiwa ini…adalah jiwamu


Apa lagi yang tersisa? Apalagi yang kubisa? Apa ada yang kau bisa? Semua punyaKu, semua punyaMu. Inilah cinta satu-satunya yang bisa kupersembahkan. Inilah satu-satunya yang layak disebut cinta.

Rindu ini adalah rindumu
Darah ini adalah darahmu


Aku ingin bercinta seperti cinta Sapardi:
“Aku ingin mencintaimu, dengan sederhana
Seperti yang dikatakan kayu kepada api yang menjadikannya abu”
Habis…habis terbakar semua…
Aku ingin menari penuh cinta seperti Rumi yang terus menari
Menari penuh cinta hingga lebur, hingga tak ada lagi jarak antara tarian dan sang penari


Reff.:
Tak ada yang lain selain dirimu
Yang selalu kupuja…
Ku sebut namamu
Di setiap hembusan nafasku
Kusebut namamu


Ya Robbi…ya Kristus…ya Allah…ya Yahwe…ya Buddha…ya Gusti…ya Sang hyang widi

Kusebut namamu

Ya Robbi…ya Kristus…ya Allah…ya Yahwe…ya Buddha…ya Gusti…ya Sang hyang widi

Dengan tanganmu, aku menyentuh
Dengan kakimu, aku berjalan

Tak ada lagi yang tersisa…

Dengan matamu, kumemandang
Dengan telingamu, kumendengar


Tak ada satupun yg kupunya…

Dengan lidahmu, aku bicara
Dengan hatimu, aku merasa


Innaillahi wainnaillahi rojiun...

Friday, April 15, 2005

haiku sepotong senja

kata yang mati
di deru roda besi
senja, koran basi

gelap menyergap
kereta senja rintih
kantuk menyesak

Cerita Papa Mul suatu hari…

(bercerita dalam 100 kata)

Aku berang setiap film kartun bodoh itu muncul di TV.
Aku benci Dora, aku benci Boot yang suka jumpalitan itu, aku juga kesal pada anakku kalau sedang menirukan mereka berkata,
“Sweeper jangan mencuri, Sweeper jangan mencuri, Sweeper jangan mencuri…”

Sejak makin sering masuk berita TV gara-gara wartawan sialan dan anggota pemberantas korupsi sok suci itu, aku memborong selusin boneka Sweeper setiap hari.
Tapi, anakku tetap tak suka Sweeper.
Anakku lebih suka boneka anak perempuan dan teman monyetnya yang kucel itu. Sekarang, setiap aku pulang ke rumah anakku menyambut di depan pintu,
“Papa jangan mencuri, Papa jangan mencuri, Papa jangan mencuriiiii….”

Dia... Guruku...

(bercerita dalam 100 kata)

Sesekali, aku dan istriku saling tatap. Sesekali kami menatapnya. Nafasku masih tersengal sisa tengkar kata tadi, yang segera usai begitu orang ketiga datang. Orang yang kini duduk diam menatap kami tajam. Bukan pertengkaran besar sebenarnya. Hanya selisih kecil soal ke mana menyekolahkan Bening, putri kami.

“Sudah tenang?” desahnya memecah sunyi.

Kami mengangguk kecil.

“Mau sekolah di mana nggak masalah koq. Kenapa Papa Mama bertengkar? Papa masih juga mengulang kebiasaan dulu, selalu terseret amarah... Mama juga!”

Kami terpaku malu menatap Bening. Bening adalah guru kami di kehidupan yang lalu, begitu kata kakek tua tak diundang yang datang saat tujuh bulanan Bening.

Wednesday, April 06, 2005

Isdet...

Hello darkness my old friend
I’ve come to talk with you again

(Sound of silence: Simon & Garfunkel)


Image hosted by Photobucket.com

Suatu hari, dengan seorang teman kantor saya terlibat obrolan kosong. Saya tanya teman saya ini tentang minatnya ikut acara reality show televisi Fear Factor. Tumben-tumbenan, dari seorang teman cowok yang rasanya cukup punya jiwa avonturir saya mendapat jawaban, “Nggak, gw nggak mau. Gw nggak mau mati konyol. Nggak keren kalo mati konyol”. Secara spontan (tanpa “Uhuuuy” tentunya) saya merespon, “Mau mati gimana juga, judulnya mati. Lagian pas udah mati emang loe masih bisa mikirin konyol ato nggak?”.

Masih di hari yang sama, masih dengan teman yang sama, kami terlibat obrolan tentang tema yang sama; kematian. Dia bilang, “Ja, jaga-jaga gula darah kalo loe nggak mau mati gara-gara diabetes.” Banyak angota keluarganya meninggal lantaran penyakit yang satu ini. Spontan lagi (dan tanpa “Uhuuuuy” lagi), saya bilang ke dia, “Eh elo ternyata atheis yah!”. Teman saya kaget. Saya jelaskan kenapa, “Untuk orang yang ngaku berTuhan, koq bisa-bisanya elo mikir kalo orang bisa mati lantaran Diabetes?” Kelihatannya dia mengerti maksud saya, tapi dia juga hanya bisa diam dan bingung bagaimana harus merespon pertanyaan iseng saya tadi.

Bukannya mau gimana-gimana, tapi soal bagaimana atau sebab apa seseorang mati kerap mengganggu benak saya. Apa nggak aneh yah, kalo ada orang yang bilangnya beriman, rajin sembahyang punya gelar ini-itu, tapi pas ngomong tentang satu kematian, “Iya, dia meninggal karena sakit jantungnya”. Bukankah kematian merupakan satu konsekuensi hidup? Semua yang hidup secara fisik akan mati secara fisik. Saya masih membuka kemungkinan bahwa orang bisa berumur 100, 200 atau bahkan 300 tahun karena memang tidak ada hukum yang pasti bahwa orang harus mati pada umur tertentu. Tapi memang secara sosial, kalau ada orang belum mati juga di umur 300 masyarakat sekitar akan menanggapnya aneh dan si ‘oknum’ tersebut juga mungkin bakal risih diliatin orang terus. Tapi bahwa ada orang bisa hidup sekian lama, saya pernah dengar. Di India, konon orang-orang seperti itu turun gunung dari pertapaan mereka untuk hadir di sebuah festival spiritual yang diadakan 25 tahun sekali. Sayang, nama acaranya saya lupa, begitu juga dimana tempat persisnya.

Makin saya berumur hingga hari ini, makin saya mendekati usia harapan hidup orang Indonesia (berapa yah? 50 tahun something?), tentu saja topik kematian makin memikat sama memikatnya memikirkan bagaimana menikmati sisa hidup senikmat-nikmatnya. Beberapa buku dan literatur tentang kematian sempat singgah dalam benak saya. Syeh Siti Jenar yang disebut-sebut sebagai wali kesepuluh, yang oleh telaah sejarah mainstream dicap sebagai sesat, termasuk tokoh yang mensentralkan kematian dalam perenungannya. Konon baginya, hidup yang sehidup-hidupnya adalah ketika kita mengalami kematian. Memang kematian di sini bisa beragam makna, bisa fisik bisa ego. Konon, para muridnya salah mengartikan ajarannya. Mereka mencari onar di pasar supaya dipukuli massa dan akhirnya mati digebukin. Saya lebih menikmati pesan Syeh ini dalam makna kematian ego. Karena menurutnya, dalam diri kita ada RuhNya yang hanya bisa total bermanifestasi ketika diri kerdil kita mati.

Beberapa buku yang saya sempat baca juga bilang, bahwa kematian justru sebuah peristiwa yang perlu dirayakan. Saat diberitakan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah mangkat, orang-orang Italia bertepuk tangan selama 10 menit. Konon, itu tradisi mereka untuk menghormati kematian seseorang yang sangat mereka cintai. Mungkin kematian memang perlu dirayakan, mungkin memang tak perlu harus diiringi sedu sedan, karena kematian toh sesuatu yang tak terhindarkan. Kematian adalah salah satu kepastian hukum alam. Bahkan, dalam dimensi dan wujud yang lain, sesungguhnya kematian banyak terjadi dalam hidup kita. Siang mati, hiduplah malam and vise versa. Saat kita tidur itu juga semacam kematian kecil dimana paginya kita bangun hidup kembali. Konon, kematian perlu terjadi sebagai bagian hukum kekekalan energi. Secara fisik mati, tapi energinya akan terus ada, selamanya. Seperti sepucuk daun hijau yang kemudian mati, mengering lalu terlepas dari pokoknya, jatuh ke tanah, hancur terlebur bersama tanah tapi energinya tetap ada, yang akan menjadi pupuk penyubur tanah bagi tumbuhnya biji buah yang jatuh...yang kemudian akan menjadi pohon baru...satu pokok pohon tersendiri.

Jujur saja, saya masih takut mati. Meski di sisi lain, saya mulai bisa memahami bahwa takut akan kematian adalah sebuah ketakutan yang tidak perlu. Seperti rasa takut akan datangnya senja. Tak perlu takut, senja pasti datang dengan pesonanya sendiri. Gelap malam akan menyusul. Nikmati saja, tidur saja, begitu ‘terang’ muncul kita akan bangun untuk hidup ‘berikutnya’.

Tanpa bermaksud tidak mengindahkan cara hidup sehat, saya berusaha menikmati hidup sepenuh-penuhnya. Karena rasanya, sebuah sebab kematian yang sebelumnya kerap saya pikir sebagai sebab hanyalah sebuah cara bagi berlangsungnya hukum alam, hukum semesta, hukum Tuhan. Coba saja itung-itung sendiri, berapa jumlah orang yang telah hidup sehat tanpa rokok selama hayatnya...toh mati juga oleh suatu sebab. ‘Karena’ petir, ‘karena’ kolesterol, ‘karena’ keseterum, ‘karena’ tsunami, ‘karena’ gas beracun seperti Soe Hok Gie, ‘karena’ diracun seperti Munir, ‘karena’ ketabrak seperti Lady Diana, ‘karena’ usia tua seperti Pater Drost, ‘karena’ Aids seperti Freddy Mercuri dan lain sebab. Hitung juga, berapa banyak orang yang sepanjang hidupnya tak lepas dari rokok yang bertahan sampai usia melebihi angka seratus...meski tentu saja mati juga.

Jujur saja, saya masih suka menangis ketika menghadiri sebuah perlayatan atau pemakaman. Kadang, air mata itu begitu saja jatuh. Kadang saya juga digoda suara yang bertanya; elo nangis buat diri loe sendiri atau buat orang yang baru saja mendiang? Elo menangis karena egoisme loe yang merasa ditinggalkan atau karena elo bahagia melihat temen loe telah memasuki fase lain perjalanannya? Elo menangis karena boleh berbagi kebahagian ketika hidup bersama orang yang baru saja meninggal atau karena merasa ada bahagia yang terenggut atau berkurang karena kematiannya?

Konon, buat falsafah Jawa, hidup itu seperti mampir ngombe alias numpang minum. Setelah dahaga puas kita jalan lagi. Pesan yang sama saya rasakan saat menikmati film Terminal-nya Tom Hanks. Hidup seperti sebuah persinggahan ‘sebentar’ dimana kita diberi kesempatan menjadi pribadi yang lebih baik....setelah itu kita jalan lagi. Syukur-syukur, menjadi perjalanan terakhir...sebuah perjalanan pulang.