Wednesday, October 18, 2006

Kitab Sableng.

Alkisah...
Konon pernah hidup seorang Pendekar Sableng. Tak pernah ada yang tahu pasti nama sebenarnya. Yang pasti dia sering terpekur memecahkan teka-teki angka yang diberikan gurunya. 212. Gurunya tak pernah menjelaskan lebih jauh tentang angka itu. Gurunya hanya menuliskan angka itu dipunggung tangannya, persis seperti saat kita menuliskan nomor telpon kenalan lama yang sudah lama tak bertemu. Itu pun kebiasaan jaman sebelum hape kayak kacang goreng seperti sekarang.

Gurunya hanya mengguratkan angka itu. Plus sedikit wejangan. “Aku gak mau jelasin maksudnya apa. Tapi ingat-ingatlah angka ini; bukan dua bukan satu menyatulah. Wong aku juga masih bingung. Makanya aku gendheng gini hueheheheheheheh”. “Dasar gila, ngomong sendiri, ketawa sendiri”, gumam si Pendekar dalam hati tentunya.

Bertahun-tahun kemudian barulah cercah demi cercah sinar nampak dibalik teka-teki angka itu. Anehnya, terang justru muncul dari ungkapan-ungkapan sableng. Susunan katanya yang sepertinya berlawanan tapi justru sangat berkawan. Awalnya membingungkan, tapi kemudian menenangkan. Inilah sebagian dari beberapa pencerahan-pencerahan itu. Beberapa adalah sabda-sabda bijak dari para bijak, baik yang namanya mau disebut maupun yang minta “off the record”.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka, biarlah di kitab ini tak disebut satupun nama mereka. Toh, buat mereka mulut mereka adalah perpanjangan dari sang Maha Sabda. Sang Keberadaan. Begitu sang pendekar berpesan.

Only when we can love hell, we will find heaven.
Manusia selamanya tak akan bisa hidup tenang selama pertentangan terjadi dalam dirinya. Seseorang bisa bilang tak ada pertentangan dalam dirinya. Dia merasa senang. Dia merasa sedang berusaha menikmati hidup dengan ikhlas sambil berharap kelak nanti ia bisa merasakan surgaNya. Di sinilah masalahnya. Justru dalam cita-cita ‘terbesar’ kita, kita tidak menyadari pertentangan.

Disebut terbesar karena cita-cita inilah yang paling pamungkas, yang melampaui alam kubur. Dari hidup ke dunia baka yang tak tahu apa. Surga ternyata hanyalah surga gagasan. Surga definisi. Begitu pun dengan neraka. Ada ribuan definisi tentang surga dan musuhnya si neraka itu.

Dari piyik hingga jadi oma-opa kita masih terus ditakut-takuti dengan kedua tempat ini. Kita bahkan tidak berani untuk sekedar menantang pikiran kita dengan berkata, “bagaimana kalau surga dan neraka tak pernah ada?”. Hanya sedikit dari kita yang berani bernyanyi seperti lagu Chrisye, “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut namaNya?” Hanya sedikit dari kita berani berdoa seperti sang murshid Rubiah, “Bukakanlah pintu nerakaMu lebar-lebar untukku jika aku hidup karena takut akan neraka. Tutuplah pintu surga rapat-rapat untukku bila aku berbuat demi memasuki nikmat surgaMu”.

Kita terbiasa memerangkapkan diri dalam zero sum game seperti ini. Hidup selalu dilihat seperti prinsip digital. 0 atau 1. Ada atau tak ada. Padahal mungkin hidup justru ada di keadaan antara ada dan tiada. Selalu soal menang kalah. Selalu soal punish and reward. Selalu always about iming-iming.

Memang lebih mudah berjalan ketimbang berhenti dan diam. Saat berjalan kita punya tujuan. Atau setidaknya ada yang dituju, apapun itu. Tak pernah kita berpikir untuk berjalan demi berjalan itu sendiri. Sang guru bilang, “Berhenti berjalan maka engkau akan sampai”. Huahahahahhaha. Ya iya lah yaaaaw. Kalau berhenti berjalan ya pasti sampai, ya pasti diam, ya pasti berhenti di tempat sampai. Atau sampai di tempat berhenti.

Bukan satu, bukan dua, tapi menerima keduanya. Menyatu dengannya.
Bukan surga, bukan neraka, tapi melampaui keduanya. Menyatu dengannya.



Tao yang bisa dijelaskan, bukanlah Tao yang sesungguhnya.
Sebagai makhluk dengan kesadaran sebagai spesies paling luhur dan berbudi pekerti, kita kerap mengandalkan pikiran, otak dan intelejensi. Semua harus bisa dimengerti. Semua harus jelas. Kita lupa bahwa banyak kesadaran baru, banyak pencerahan menemukan celahnya sendiri masuk dan menyatu menjadi bagian dari diri kita tanpa kita othak-athik gathuk dulu dengan olah pikiran. Kita terbiasa hanya bisa menerima sesuatu yang bisa terjelaskan dengan gamblang dan masuk nalar.

Dalam keseharian kita, kita sering dengan telunjuk kita diarahkan ke kepala sambil bilang, “pakai ini”. Kita terbiasa mengartikan sebagai 'pakai otak gitu looooh'. Padahal ada pemaknaan lain, bahwa dalam jenjang cakra manusia daerah kepala berhubungan dengan pencapaian kesadaran. Dan kesadaran tak harus sama dengan berpikir. Kesadaran boleh jadi lebih berupa penerimaan atas semua yang kita alami dan kita jalani dalam hidup.

“bukan..bukan...tuhan tidak seperti itu”

“wah kalau gitu jelas batal puasanya”

“Gak mungkin Yesus lahir dari perawan. Gimana pembuahannya?”

“ibadahnya gak akan diterima selama 30 hari”

“Inilah gereja yang paling mendekati teladan Yesus”

“dan seterusnya, dan seterusnya...bla bla bla bla”

Mungkin karena merasa ge er disebut paling berbudi, semua hal dipikirin oleh manusia. Jadinya gak nyantai. Gak kayak kebo yang asik aja makan rumput. Gak seperti cicak yang gak sombong bisa nangkap nyamuk meski si cicak gak punya sayap. Gak seperti magma gunung yang ikut arus aja dan pasrah aja meski letusannya menghancurkan satu kabupaten.


Bukan satu, bukan dua, tapi menerima keduanya. Menyatu dengannya.
Yang bisa dijelaskan, yang masih misteri, terimalah semua. Menyatulah dengannya.



Matilah dalam hidup, hiduplah dalam mati
Memangnya kita punya pilihan lain? Kalo gak hidup ya mati. Kalo gak mati ya hidup. Atau hidup dengan keduanya. Atau hidup dengan menerima keduanya. Atau mau pilih hidup segan mati tak mau?

Dunia memang aneh. Manusia memang aneh. Ada yang mematikan diri dibilang mati beneran. Ada yang mati malah dibilang bener-bener hidup. Ada yang hidup malah disangka orang mati.

Ada yang untuk hidup malah menghidup-hidupkan hidupnya yang sebenarnya sudah mati. Ada juga yang malah merasa hidupnya dimatikan orang lain, memang bisa dimatikan?

Ada juga yang memikirkan mati semasa hidup supaya semasa mati nanti diberi hidup baru. Ada juga yang memikirkan hidup sesudah mati padahal tidak pernah mikirin hidup sebelum mati.

Ada yang minta mati padahal masih hidup. Ada yang sudah mati tapi gentanyangan merasa dirinya masih hidup. Ada yang berpesan kalau nanti setelah mati didandanin seperti semasa ia masih hidup.

Hidup. Mati. Hidup. Mati. Hidup. Mati.

Mungkin kita hidup bukan sekali. Mungkin kita mati bukan sekali. Mungkin juga kita hidup dan mati ternyata baru sekali. Siapa peduli!

Hari ini kita mungkin mati. Mungkin besok hidup lagi. Siapa peduli.

Inilah hidup. Nikmatilah. Terimalah hidup dan mati bersamaan. Mungkin tak terasa kita sudah mati semasa masih hidup.

Bukan satu, bukan dua, tapi menerima keduanya. Menyatu dengannya.
Bukan hidup, bukan mati, tapi melampaui keduanya. Menyatu dengannya.


Belum rampung mungkin bersambung
Masih ada beberapa catatan tercecer dari kitab sableng itu. Si pendekar sableng memang sok pintar. Otaknya terus diperas memecahkan beberapa koan-koan zen dari para guru bijak.

Sambil mengangkat satu kakinya di cafe itu, lagaknya lebih mirip otak-atik togel ketimbang mencari pencerahan. Huehahahahaha. Dasar sableng. Gurunya gendheng.

Friday, September 29, 2006

di depan soekarno-hatta

senja mengiring langkah
sambil kutatap sosok
dua manusia dari batu
patung soekarno-hatta
dalam temaram yang terus meredup

bagaimana mungkin perempuan yang baru kutemui
di seberang monumen itu
bisa bilang, “saya tidak pernah suka politik!“
dia bisa atau aku yang tidak biasa
atau mungkin baginya politik hanya tinggal prasasti
hei bung, dengar itu
sekarang apa jawabmu?

(di dalam bis penjaja koran menjual edisi pagi
setengah harga berita utama: “Saya bersedia dipilih kembali“

(depok, 28 jan 98)

tentang kita

kemanakah perginya bayanganmu,
ketika hujan sore tadi
menghantar kembali gelisahku
yang panjang...
dimanakah butiran hujan itu kini,
ketika hendak kuhardik
karena interupsinya yang melankolis

(depok, okt 96)

puisi itu

telah lahir sebuah puisi
yang telah lama kukandung
sejak kusadar ada bulan menyinar malam
sejak kutahu teriknya sang surya
sejak hujan menyisakan nuansa tertentu
sejak masa yang kulupa kapan

telah lahir sebuah puisi
yang tak bersuara barang sekata
yang tak mendesahkan satu gumaman pun

ia lahir...
dan aku tak punya nama untuknya
karena tak kuasa aku atasnya

telah lahir sebuah puisi

lihatlah ke dalam mataku

(depok, 4 juli 94)

sajak segelas kopi dan sebatang rokok

segelas kopi barulah segelas kopi, bila hanya ada kau sendiri dan segelas kopi itu. dan, sebatang rokok baru bisa dipastikan sebatang rokok, bila hanya ada kau sendiri dan sebatang rokok itu. segelas kopi belum sempurna hakikatnya, bila belum ada sebatang rokok dan kau sendiri. Begitu pun, sebatang rokok belumlah sejati, bila tak ada segelas kopi dan kau yang sendiri. Kini, sempurna sudah...ada kau, sebatang rokok dan segelas kopi. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketujuh.

(depok, juli 98)

sajak tak berujung

(catatan perjalanan untuk seseorang)

saat jejak-jejak kita disapu debur ombak
apa sesungguhnya yang telah kita tinggalkan?
ketika merambah lebatnya rimba yang liar
siapakah yang sedang kita taklukkan?
dalam setapak yang disamar rimbun
apakah yang sedang kita jiarahi?
pada gunung-gunung ombak yang berlari ke pantai
detar apa yang sedang kita gumuli?
diantara bintang yang memahkotai purnama
siapakah yang sedang kita ajak bicara

pada binar matamu yang menatap langit
wahai gadis yang riang meningkahi anak-anak ombak
dimanakah ujung hasrat kisahmu?
dalam semua misteri yang kau simpan
wahai ujung kulon
dimanakah ujungnya ujung segala ujung?

(depok, sept 98)

sebuah jalan, suatu masa

suatu malam di suatu jalan
sebuah keluarga nyenyak mendengkur
sebelum tidur pemiliknya sempat bicara,
“lihatlah betapa tenang negeri ini”
di luar rumah itu panser dan serdadu
berjaga siap tembak
ketenteraman itu berlangsung dari tahun ke tahun

suatu siang di suatu jalan
orang-orang kocar-kacir
dengan mulut berdarah tanpa air mata, berkata
“dimana ketenangan di negeri ini?”
di sepanjang jalan panser dan serdadu
berbaris dan menghunus sangkur
kematian seperti hari itu sudah ada sejak dulu

suatu pagi dari setiap penjuru
semua kaki menuju rumah itu
hampir serempak mereka mendesis
“kita tegakkan lagi ketenangan di negeri ini”
barisan panser dan serdadu hancur lebur
rumah itu tinggal abu
di tengah kota penghuninya digantung
ada yang memotong jarinya untuk makanan anjing
yang paling tak tegaan
menyobek kulitnya untuk tambal celana
katanya, mereka tidak disidang
karena keadilan sudah mati sejak dahulu
mimpi tentang hari itu sudah menahun mereka rindu

(ditulis saat saya ulang tahun. kurang kerjaan banget sih. jakarta, 10 november 96)

Pengantar puisi stok lama

Dulu, sebelum ada komputer tentu saja saya seperti Anda dan orang lain yang suka puisi....menulis bait-bait puisi pada kertas. Kertas apa saja. Sedapatnya saja. Tergantung kapan dan dimana 'kesetrumnya'. Beberapa puisi beruntung tertulis di lembar bersih dalam cetakan mesik tik atau hasil ketikan program WS 2.

Beberapa puisi itu selama bertahun-tahun saya simpan dalam satu map. Sekarang, secara udah ada teknologi blog gitu looooh, ya saya simpan aja di ruang kosong ini.

Kenapa? Supaya saya selalu memiliki ruang kosong. Karena menulis puisi bisa jadi kegiatan membuang dan melepaskan rasa, yang setelah dilepaskan.... kita justru dipenuhi lagi kekosongan baru.

Ini sekedar pengantar beberapa puisi yang pernah saya tulis dan sempat tersimpan, yang saya suka tersenyum sendiri saat membacanya. Ini puisi saya. Ini protes saya. Ini proses saya.

Beberapa puisi pernah dibacakan oleh teman-teman satu kontrakan jaman mahasiswa saat ulang tahun saya yang kesekian (lupa tahunnya hehehehe) . Duduk melingkar di kontrakan bernama Wisma Ganteng. Nyaris kayak di film Dead Poet Society hehehehehe. Itu salah satu ulang tahun terindah saya. Ah, senangnya masa-masa itu....

Ah, sudah lama juga ya saya tidak menulis puisi...

Tuesday, August 15, 2006

Menjadi Indonesia

Amerika tentulah bangsa yang besar,
karena nyaris cuma dia yang bisa bilang,
"Heey Israel, tahan dulu seranganmu".

Amerika tentulah bangsa yang hebat,
karena kalau ada masalah di negara ini dan itu
Amerika selalu siap membantu,
meski akhirnya negeri yang didatangi itu
malah disuruh ini dan itu
seperti majikan tengik ke pembantu.

Amerika pastilah bangsa yang kuat,
karena dollar-nya selalu tangguh
berhadapan mata uang negara manapun.

Amerika pastilah bangsa yang maju,
karena semua bangsa senang
menyanyikan lagu penyanyi dari sana,
pakai pakaian dari sana,
makan masakan resep sana, dll.

Menjadi orang Amerika pastilah membanggakan,
karena meskipun kalah perang di sana sini
hampir setiap perayaan hari kemerdekaannya
selalu diproduksi dan ditayangkan
film-film penuh heroisme.

Menjadi orang Amerika pastilah dahsyat,
karena bahkan menjelang perayaan
hari kemerdekaan bangsa saya, Indonesia...
saya disuguhkan hebatnya Mel Gibson
yang menjadi Patriot pembela bangsanya
dalam film dengan judul yang sama
di stasiun televisi swasta Indonesia,
hanya 4 hari menjelang tujuh belasan.

Saya jadi nyengir kecut mengingat
orang-orang yang demo anti Amerika.
Kasihan kalian saudara-saudaraku
yang sudah membakar bendera
dan mengajak boikot produk Amerika.
Mana bisa??! Tolooool sekali!!!
Kalian hanya akan berhadapan
dengan bangsa sendiri yang terlanjur cinta
pada negeri yang bahkan
belum pernah mereka sentuh tanahnya.

Duuuuh senangnya, seandainya di bulan penuh pekik merdeka ini,
saya boleh menonton film
dari negeri yang katanya sudah merdeka ini
yang berceritera tentang bangsa merdeka
bernama; Indonesia.

Tapi, apapun yang terjadi,
aku tetap bangga menjadi Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku!

15 Agustus 2006.

Wednesday, July 26, 2006

Bumi manusia

Inilah kisah bumi manusia. Kisah yang bermula pada masa itu. Jutaan tahun yang lalu. Tepatnya ratusan juta tahun yang lalu.

Saat bumi belum seperti ini. Saat itu bumi masih satu benua dan belum ada lautan. Saat itu yang ada hanya benua Pangaea.

Lalu, benua besar bernama Pangaea itu bergerak, bergeser dan memecah dua hingga terciptalah lautan Tethyan. Sejak saat itu Tethyan memisahkan dua benua pecahan yang masing-masing dinamakan; Laurasia dan Gondwanaland.

Baru setelah puluhan juta tahun kemudian benua-benua itu terpecah lagi penjadi benua-benua lebih kecil dan pulau-pulau hingga seperti gambaran bumi saat ini.

Gondwanaland pecah menjadi Afrika, Antartika, Amerika Selatan, Australia, Semenanjung India, Arabia dan lain-lain. Sedang Laurasia pecah menjadi Amerika Utara, Greenland, Eropa dan bagian Asia yang sekarang terletak di Utara pegunungan Himalaya.

Bukan, petikan di atas bukan pembuka kisah Lord of the ring-nya Tolkien. Itulah cerita tentang bumi yang bergerak dalam benak Alfred Wegener. Wegener awalnya adalah seorang peramal cuaca yang kemudian jatuh cinta pada geologi.

Ketika ceritanya tadi dan gagasan-gagasannya tentang kerak bumi yang bergerak disampaikannya dalam ceramah ilmiah di New York tahun 1923 di hadapan para ilmuwan terkemuka Amerika masa itu, hampir seluruh hadirin mencerca dan menghinanya.

Saat diumpat “Terkutuk betul”, Wegener bisa merasakan apa yang dialami Galileo Galilei semasa hidupnya. Bahkan cemooh dan cerca itu masih ikut terbawa saat Wegener mati muda di Greenland yang dicintainya.

Tentu saja cerita itu bukan saya yang karang. Ini sekedar penggalan dari sebuah buku yang sangat menarik; Krakatau (Ketika Dunia Meletus 27 Agustus 1883) karangan Simon Winchester. Agak berat di beberapa bagian, tapi buku ini beneran menarik.

Buku ini menarik buat saya, karena membuat saya tersadar bahwa “bukan kita belajar tentang bumi, tapi bumilah yang mengajari kita”.

Meski beberapa orang punya visi, imajinasi dan kecerdasan untuk bisa memahami apa yang terjadi dan yang akan terjadi pada akhirnya peristiwa alamlah yang memberi bukti sekaligus memberi pelajaran.

Sebenernya Galileo sudah bilang kalau bukan bumi pusat tata surya. Tapi baru setelah ratusan tahun fenomena alam, baru orang percaya bahwa Matahari-lah pusatnya.

Sebenernya gempa bumi sudah sering ada di Indonesia. Tapi baru setelah frekuensinya lebih sering dan akibatnya lebih masif, kita lebih mewaspadai dan lebih mau memahami gempa.

Sebenarnya sebelum Krakatau banyak gunung yang meletus lebih dahsyat. Letusan gunung super volcano Toba Samosir jutaan tahun lalu bahkan diyakini sebagai pemicu perubahan evolusi alam dan manusia karena efeknya yang seantero jagad. Tapi, baru dari peristiwa Krakatau-lah kita bisa lebih seksama mencatat dan mempelajari tentang efek letusan gunung yang getarannya terasa hingga Inggris itu.

Sebenarnya laut surut adalah fenomena harian bagi masyarakat pesisir. Tapi kini ada pengecualian untuk laut surut tiba-tiba setelah gempa. Karena 15 menit kemudian tsunami akan datang.

Dulu orang masih cengangas cengenges saat gempa. Kini ada iklan radio bagaimana menyelamatkan diri dari bencana itu.Bahkan ada siaran percobaan di TV untuk peringatan dini bagi masyarakat saat terjadi bencana.

Dulu ilmuwan paling terhormat di Amerika mencemooh Wegener karena pemikirannya tentang kerak bumi yang bergerak. Kini, dalam obrolan warung kopi pinggir jalan sekali pun jangan kaget kalau kita dengar orang ngomong, “Oooh gempa kemaren itu..... itu khan karena itu lho...eee.. gerakan lempeng tektonik Cimandiri kalo gak salahi”.

Bukan kita yang tiba-tiba jadi lebih hebat atau lebih pintar karena istilah-istilah itu. Bukan. Bumi dan Sang Pengatur Semesta kita inilah yang punya kepintaran alami dalam mengajari kita.

Bukan kita belajar bagaimana alam bekerja. Tapi alamlah yang mengajari bagaimana ia bekerja.

Sungguh arif orang tua kita dahulu yang telah mewariskan kalimat yang sangat indah ini; “alam berkembang menjadi guru”.


*dikutip dan diinsipirasi dari buku Krakatau (Simon Winchester) dicampur peristiwa tsunami Pangandaran, gempa yogya, issue gempa di Jakarta antara jam 14-15.00, bukunya Pramoedya de el el.

Wednesday, May 03, 2006

Banyak-banyaklah berdoa demi Indonesia, karena....

Pada sebuah malam, pada sebuah saluran televisi, pada sebuah acara debat publik, seorang ustad masih saja ber’sabda’ bahwa tindakan anarkis mereka yang menyerbu kantor redaksi Playboy Indonesia adalah satu pilihan sikap yang harus bisa diterima dan harus dimaklumi. Percayalah, dia bukan pemuka agama pertama yang mengamini dengan santai tindakan amuk massa seperti itu.

Pada suatu petang, pada sebuah saluran televisi, pada sebuah acara berita, dua pimpinan daerah dua partai memaklumi kemarahan massa partainya yang mengamuk lantaran calonnya kalah di pilkada. Setelah sekian gedung dibakar, keduanya bilang “kalau semua saluran sudah tertutup ya mau apalagi?” Percayalah, mereka adalah orang kesekian kali dalam kurun sekian waktu yang masih saja memainkan politik anarkis.

Pada suatu saat nanti, suatu tempat nanti, suatu peristiwa seperti kejadian di atas mungkin terulang. Dan akan ada orang-orang yang dengan dengan santai mengulang pemakluman yang sama...

Thursday, January 26, 2006

Kotbah di atas bukit

(Cerita kedua seri ceceran kisah sepanjang Bogor-Jakarta)

Pagi itu aku agak kesiangan berangkat ke kantorku di bilangan Kuningan dari rumahku di Bogor. Aku seperti orang terhipnotis saat usai mengambil uang di ATM di setopan Sentul. Aku terdiam agak lama saat seorang pedagang asongan menyodorkan dagangannya. Kue gemblong. Tau kue gemblong? Ya...kue berbentuk opal berwarna keemasan terbuat dari beras ketan yang dilapisi gula jawa. Aku terdiam bukan karena terbayang rasanya yang nikmat. Tapi gemblong-gemblong itu mengingatkanku akan pengalamanku sebulan lalu saat bertemu Ki Gemblung di sebuah bukit di pinggiran Bogor. Ooh bukan, jangan salah sangka dulu. Ki Gemblung bukan aki-aki yang gila makan gemblong. Baiklah, saya mulai cerita tentang Ki Gemblung.

Siang itu seperti biasa, rumah tua di atas bukit itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mencari sesuatu. Ya, tentu saja ’sesuatu’ namanya, karena antara satu orang dan lainnya tak sama. Ada yang minta didoakan naik pangkat. Ada yang ingin nyantet tetangganya, ada yang minta disembuhkan sakit menahunnya, dan permintaan-permintaan lain. Beberapa dari mereka, tak banyak memang, ada yang mencari kedamaian hati yang sesungguhnya. Beragam harapan ditumpahkan pada pemilik rumah tua di atas bukit itu. Ki Gemblung. Aki-aki urakan yang suka bertingkah aneh-aneh. Tua tapi trendi. Marah kalau dibilang norah, senyum kalau dibilang funky. Sudah umurnya masuk liang kubur, tapi suka bikin kejutan yang bikin orang lebih dari sekedar terkejut.

Seperti biasa, siang itu halaman rumah itu dipenuhi puluhan orang dari berbagai kalangan. Mereka pun datang dari berbagai daerah, bahkan dari berbagai pulau. Terik panas siang itu sudah membuat mereka berpeluh sejadi-jadinya. Tapi mereka memang harus sabar menanti Ki Gemblung keluar dari dalam rumahnya. Hanya dengan keluarnya Ki Gemblung mereka akan sembuh atau terbebas dari masalah hidup mereka. Konon begitu syarat kalau mau ketemu Ki Gemblung dan mendapat berkahnya. Sabar. Tapi, tentu saja mereka tak sabar menanti apa kejutan Ki Gemblung kali ini. Konon, Ki Gemblung pernah tiba-tiba muncul diantara kerumunan orang di depan rumahnya. Begitu saja. Padahal, ia sudah ditunggui sehari-semalam nyaris dikepung di semua sudut oleh ratusan orang yang mau ketemu dia. Pernah juga, ia keluar dari dalam rumah dengan melayang setinggi dada orang dewasa lalu mendarat di depan pengunjung seperti pemain gantole mendarat. Tapi, pernah juga ia keluar dari dalam rumah dengan piyama dengan muka mengantuk lalu mengusir semua orang untuk pergi dan tidak menggangunya hari itu. Penuh kejutan dan semua terserah seenak udelnya aki-aki yang nggak terima kalau dibilang aneh itu.

Ya, setelah hari menjelang sore barulah pintu rumahnya bergerak. Puluhan orang di halaman rumah tua itu bergerak maju mendekati pintu. Apa kejutan Ki Gemblung kali ini? Ternyata, Ki Gemblung keluar dari dalam rumah dengan mengenakan pakaian wanita. Rambutnya yang biasanya setengah gundul tertutup wig berwarna orange. Bibirnya bergincu. Pakaiannya? Alamaaaaak. Seksi abis kalau yang makai cewek-cewek SPG pameran mobil di JHCC. Sepatu hak tinggi dengan stoking jaring-jaring separuh robek-robek. “Ck ck ck”, semua berdecak. Semua orang di halaman itu menelan ludah. Terutama yang pria. Bukan karena terangsang, tapi karena nggak habis pikir apa yang membuat Ki Gemblung berpakaian seperti itu. Sebagian karena merasa tidak tahan tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba, Ki Gemblung menatap tajam ke arah mereka yang tertawa. “Kalau kalian tertawa begitu terus, hidup kalian akan bahagia terus.” “Ya, Anda..Anda dan Anda yang lagi punya masalah pingin kawin lagi...karena sudah tertawa keras tadi saya jamin masalahnya cepat beres“, katanya tenang sambil menunjuk ke beberapa orang. Pria berkumis yang mukanya mirip Rano Karno yang ditunjuk terakhir tersipu malu.

“Oke, sekarang jawab! Siapa yang mau hidup bahagia?“
Semua angkat tangan.
“Siapa bisa nyanyi?“
Lima orang mengangkat tangan mantap.
“Sekarang saya tanya...siapa yang mau nyanyi?“
Sepuluh, enam belas, dua empat, stop nggak nambah lagi yang angkat tangan. Kurang dari separuh orang yang ada di halaman itu.
“Nyanyi aja nggak mau, gimana mau bahagia??! Sudah sekarang ikuti saya lagi....bikin 5 baris...ya begitu....ya begitu...nggak udah takut berdiri depan, bisa nggak seeeh...kayak anak SD aja! Sekarang ikuti gerakan dan suara saya..begini.....“, sambil tersenyum nakal.

Kemudian Ki Gemblung menggoyang pantatnya ke arah pengunjung. Tentu saja nggak makin seksi, meski ia pakai pakaian perempuan seseronok itu. Ia menggoyang pantatnya, menepuk pantatnya lalu mendesah, “Aah aah aah”. Pengunjung mengikutinya dengan perasaan mereka masing-masing. Bingung, lucu, kesal. Ki Gemblung masuk ke barisan. Ia memeriksa apakah mereka sudah mengikuti gerakan sesuai instruksinya.

“Ayoooo yang semangat…ini teknik meditasi tingkat tinggi! Kalian mau nurut, kalian mau sepenuh hati…hati kalian akan mengalami pelepasan…akan mengalami kepenuhan!”, tegas Ki Gemblung sambil menepuk pantat pengunjung. Nggak pilih kasih, mau pantat tepos, mau pantat montok, mau pantat kenyal. “Ya begitu bagus…semuaaaa…Aaah aah aaah, ya mendesah sepenuh jiwa…mendesah, mengerang seperti saat orgasme! Buat yang belum punya pasangan jangan pura-pura nggak pernah orgasme…kalian kan pernah coli!”, terkekeh aki-aki urakan itu. “Sekarang ikuti saya menyanyi…kalo gaul pasti tau lagu ini…”, wajahnya makin usil.

“Cukuplah saja berteman denganku
janganlah kau meminta lebih
ku tak mungkin mencintaimu
kita berteman saja teman tapi mesra“


Pengunjung terlihat kaget. Mereka benar-benar tidak mengira kalau lagu itu yang jadi lagu pilihan untuk meditasi siang itu.
“Sudah, nyanyi ajaaaa…nggak usah dipikirin!”

“Cukuplah saja berteman denganku
janganlah kau meminta lebih
ku tak mungkin mencintaimu
kita berteman saja teman tapi mesra“

“Ya baguuuusss….banyak juga yang hapal lagu ini”,

“Aku memang suka pada dirimu
namun aku ada yang punya
lebih baik kita berteman
kita berteman saja teman tapi mesra“

“Terus...baguuuusss….ya...katakan KITA BERTEMAN SAJA dengan semua ambisi-ambisi, obsesi-obsesi.....katakan JANGANLAH KAU MEMINTA LEBIH pada semua orang-orang yang mengaku cinta pada kita atau bahkan yang kita cintai”, Ki Gemblung memberi arahan dari depan sekarang. Suaranya tenang, semua pengunjung hanyut. Semua larut. Mereka menyanyikan lirik-lirik tadi dengan penuh semangat, dengan penjiwaan yang sama sekali lain.

“Cukuplah saja berteman denganku
janganlah kau meminta lebih
ku tak mungkin mencintaimu
kita berteman saja teman tapi mesra“

“Menyanyilah…terus…jangan putus..lepaskan semua. Katakan pada semua nafsu, materi, kekayaan, kesenangan…pada seeeeex….pada semua…katakan KITA BERTEMAN SAJA… dengan begitu kitalah yang memiliki mereka, bukan mereka yang memiliki kita….ya KITA BERTEMAN SAJA….kita harus berteman…jangan, jangan dilawan, jangan ditentang, jangan disangkal….karena, kita memang tak pernah bisa menghindari semua yang kita sangkal…. KITA BERTEMAN SAJA....TEMAN TAPI MESRA....mesra nggak apa-apa, asal jangan sampai kita dikuasai semua itu....bagaimana saudara-saudara? Sudah bisa saya tinggal yah?! Silakan diteruskan kalau masih senang. Saya mau tidur lagi“ Ki Gemblung berjalan ke dalam rumahnya dengan senyum usilnya. Semua pengunjung mengikuti setiap langkahnya hingga hilang dibalik pintu. Mereka semua tertawa dan tersenyum puas. Semua berpeluh, semua saling tatap, mereka makin percaya kalau bapak tua tadi memang gemblung-segemblung-gemblungnya.

Thursday, January 05, 2006

Lia Eden, Kita Edan.

Semuanya kembali terjadi lagi. Begitu saja. Saya tak tahu detailnya. Tapi, saya yakin, semua terjadi persis sama. Seperti yang lalu-lalu. Ada segelintir orang yang kita anggap sesat, dan ada kita yang merasa diri besar dan benar. Ada orang-orang yang ditangkapi, dipukuli, dibakar rumahnya, dibakar tempat ibadahnya, dirajam bahkan dibunuh. Kita kelihatannya bisa menerima perbedaan. Padahal sama sekali tidak. Kita menyebut diri orang toleran yang punya toleransi sudah sangat besar. Padahal yang namanya toleransi tetap mengasumsikan diri kita punya kadar kebenaran tertentu. Kebenaran yang di satu titik tertentu tak bisa ditawar lagi. Saat itulah kita beraksi. Saat itulah kita menyatakan kebenaran kita. Tapi, seberapa benar sebenarnya kebenaran kita? Apakah kebenaran kita kebenaran yang sebenar-benarnya benar? Atau kebenaran yang kita benarkan sebagai yang benar-benar?

Mungkin saatnya kita berhenti bicara toleransi. Mungkin saatnya kita bicara apresiasi. Seperti mengapresiasi puisi. Kita bisa merasakan keindahan cara, gaya dan rasa dari kebiasaan atau doa dari orang-orang yang kita anggap beda dengan kita. Kenapa? Karena toh yang kita anggap lain itu ya dari Dia juga, ya Dia-Dia juga. Karena toh kebenaran itu tak bisa kita miliki, tak bisa kita usahakan. Kebenaran itu terjadi. Tentu saja kalau lainnya sudah sampai membakar, membunuh dan tindakan keji lainnya, kita tak bisa tinggal diam. Dan Dia pun tentu tak akan tinggal diam. HukumNYA yang penuh kasih tak pernah pilih kasih.

Saya memang mulai ragu tentang apa yang saya sebut-sebut sebagai kebenaran sejak kecil. Mungkin, kebenaran yang kita anggap kebenaran adalah kebenaran yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Bukan kebenaran itu sendiri. Mungkin selama ini, kita sudah merasa jkenyang waktu membaca Menu Lezat Kebenaran...tanpa pernah memakannya, tanpa pernah mengunyahnya sendiri. Dari kecil diteteki, sampai mau mati masih minta diteteki.

Mungkin seperti Guru saya bilang, mau atheis mau theis bisa saja sama ngawurnya, “Orang atheis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan. Sedang, orang theis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya." **

Guruuuu, sampeyan memang edaaaaaaan tenaaaaaaaaan.


(**penggalan Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello, Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)