Thursday, January 26, 2006

Kotbah di atas bukit

(Cerita kedua seri ceceran kisah sepanjang Bogor-Jakarta)

Pagi itu aku agak kesiangan berangkat ke kantorku di bilangan Kuningan dari rumahku di Bogor. Aku seperti orang terhipnotis saat usai mengambil uang di ATM di setopan Sentul. Aku terdiam agak lama saat seorang pedagang asongan menyodorkan dagangannya. Kue gemblong. Tau kue gemblong? Ya...kue berbentuk opal berwarna keemasan terbuat dari beras ketan yang dilapisi gula jawa. Aku terdiam bukan karena terbayang rasanya yang nikmat. Tapi gemblong-gemblong itu mengingatkanku akan pengalamanku sebulan lalu saat bertemu Ki Gemblung di sebuah bukit di pinggiran Bogor. Ooh bukan, jangan salah sangka dulu. Ki Gemblung bukan aki-aki yang gila makan gemblong. Baiklah, saya mulai cerita tentang Ki Gemblung.

Siang itu seperti biasa, rumah tua di atas bukit itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mencari sesuatu. Ya, tentu saja ’sesuatu’ namanya, karena antara satu orang dan lainnya tak sama. Ada yang minta didoakan naik pangkat. Ada yang ingin nyantet tetangganya, ada yang minta disembuhkan sakit menahunnya, dan permintaan-permintaan lain. Beberapa dari mereka, tak banyak memang, ada yang mencari kedamaian hati yang sesungguhnya. Beragam harapan ditumpahkan pada pemilik rumah tua di atas bukit itu. Ki Gemblung. Aki-aki urakan yang suka bertingkah aneh-aneh. Tua tapi trendi. Marah kalau dibilang norah, senyum kalau dibilang funky. Sudah umurnya masuk liang kubur, tapi suka bikin kejutan yang bikin orang lebih dari sekedar terkejut.

Seperti biasa, siang itu halaman rumah itu dipenuhi puluhan orang dari berbagai kalangan. Mereka pun datang dari berbagai daerah, bahkan dari berbagai pulau. Terik panas siang itu sudah membuat mereka berpeluh sejadi-jadinya. Tapi mereka memang harus sabar menanti Ki Gemblung keluar dari dalam rumahnya. Hanya dengan keluarnya Ki Gemblung mereka akan sembuh atau terbebas dari masalah hidup mereka. Konon begitu syarat kalau mau ketemu Ki Gemblung dan mendapat berkahnya. Sabar. Tapi, tentu saja mereka tak sabar menanti apa kejutan Ki Gemblung kali ini. Konon, Ki Gemblung pernah tiba-tiba muncul diantara kerumunan orang di depan rumahnya. Begitu saja. Padahal, ia sudah ditunggui sehari-semalam nyaris dikepung di semua sudut oleh ratusan orang yang mau ketemu dia. Pernah juga, ia keluar dari dalam rumah dengan melayang setinggi dada orang dewasa lalu mendarat di depan pengunjung seperti pemain gantole mendarat. Tapi, pernah juga ia keluar dari dalam rumah dengan piyama dengan muka mengantuk lalu mengusir semua orang untuk pergi dan tidak menggangunya hari itu. Penuh kejutan dan semua terserah seenak udelnya aki-aki yang nggak terima kalau dibilang aneh itu.

Ya, setelah hari menjelang sore barulah pintu rumahnya bergerak. Puluhan orang di halaman rumah tua itu bergerak maju mendekati pintu. Apa kejutan Ki Gemblung kali ini? Ternyata, Ki Gemblung keluar dari dalam rumah dengan mengenakan pakaian wanita. Rambutnya yang biasanya setengah gundul tertutup wig berwarna orange. Bibirnya bergincu. Pakaiannya? Alamaaaaak. Seksi abis kalau yang makai cewek-cewek SPG pameran mobil di JHCC. Sepatu hak tinggi dengan stoking jaring-jaring separuh robek-robek. “Ck ck ck”, semua berdecak. Semua orang di halaman itu menelan ludah. Terutama yang pria. Bukan karena terangsang, tapi karena nggak habis pikir apa yang membuat Ki Gemblung berpakaian seperti itu. Sebagian karena merasa tidak tahan tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba, Ki Gemblung menatap tajam ke arah mereka yang tertawa. “Kalau kalian tertawa begitu terus, hidup kalian akan bahagia terus.” “Ya, Anda..Anda dan Anda yang lagi punya masalah pingin kawin lagi...karena sudah tertawa keras tadi saya jamin masalahnya cepat beres“, katanya tenang sambil menunjuk ke beberapa orang. Pria berkumis yang mukanya mirip Rano Karno yang ditunjuk terakhir tersipu malu.

“Oke, sekarang jawab! Siapa yang mau hidup bahagia?“
Semua angkat tangan.
“Siapa bisa nyanyi?“
Lima orang mengangkat tangan mantap.
“Sekarang saya tanya...siapa yang mau nyanyi?“
Sepuluh, enam belas, dua empat, stop nggak nambah lagi yang angkat tangan. Kurang dari separuh orang yang ada di halaman itu.
“Nyanyi aja nggak mau, gimana mau bahagia??! Sudah sekarang ikuti saya lagi....bikin 5 baris...ya begitu....ya begitu...nggak udah takut berdiri depan, bisa nggak seeeh...kayak anak SD aja! Sekarang ikuti gerakan dan suara saya..begini.....“, sambil tersenyum nakal.

Kemudian Ki Gemblung menggoyang pantatnya ke arah pengunjung. Tentu saja nggak makin seksi, meski ia pakai pakaian perempuan seseronok itu. Ia menggoyang pantatnya, menepuk pantatnya lalu mendesah, “Aah aah aah”. Pengunjung mengikutinya dengan perasaan mereka masing-masing. Bingung, lucu, kesal. Ki Gemblung masuk ke barisan. Ia memeriksa apakah mereka sudah mengikuti gerakan sesuai instruksinya.

“Ayoooo yang semangat…ini teknik meditasi tingkat tinggi! Kalian mau nurut, kalian mau sepenuh hati…hati kalian akan mengalami pelepasan…akan mengalami kepenuhan!”, tegas Ki Gemblung sambil menepuk pantat pengunjung. Nggak pilih kasih, mau pantat tepos, mau pantat montok, mau pantat kenyal. “Ya begitu bagus…semuaaaa…Aaah aah aaah, ya mendesah sepenuh jiwa…mendesah, mengerang seperti saat orgasme! Buat yang belum punya pasangan jangan pura-pura nggak pernah orgasme…kalian kan pernah coli!”, terkekeh aki-aki urakan itu. “Sekarang ikuti saya menyanyi…kalo gaul pasti tau lagu ini…”, wajahnya makin usil.

“Cukuplah saja berteman denganku
janganlah kau meminta lebih
ku tak mungkin mencintaimu
kita berteman saja teman tapi mesra“


Pengunjung terlihat kaget. Mereka benar-benar tidak mengira kalau lagu itu yang jadi lagu pilihan untuk meditasi siang itu.
“Sudah, nyanyi ajaaaa…nggak usah dipikirin!”

“Cukuplah saja berteman denganku
janganlah kau meminta lebih
ku tak mungkin mencintaimu
kita berteman saja teman tapi mesra“

“Ya baguuuusss….banyak juga yang hapal lagu ini”,

“Aku memang suka pada dirimu
namun aku ada yang punya
lebih baik kita berteman
kita berteman saja teman tapi mesra“

“Terus...baguuuusss….ya...katakan KITA BERTEMAN SAJA dengan semua ambisi-ambisi, obsesi-obsesi.....katakan JANGANLAH KAU MEMINTA LEBIH pada semua orang-orang yang mengaku cinta pada kita atau bahkan yang kita cintai”, Ki Gemblung memberi arahan dari depan sekarang. Suaranya tenang, semua pengunjung hanyut. Semua larut. Mereka menyanyikan lirik-lirik tadi dengan penuh semangat, dengan penjiwaan yang sama sekali lain.

“Cukuplah saja berteman denganku
janganlah kau meminta lebih
ku tak mungkin mencintaimu
kita berteman saja teman tapi mesra“

“Menyanyilah…terus…jangan putus..lepaskan semua. Katakan pada semua nafsu, materi, kekayaan, kesenangan…pada seeeeex….pada semua…katakan KITA BERTEMAN SAJA… dengan begitu kitalah yang memiliki mereka, bukan mereka yang memiliki kita….ya KITA BERTEMAN SAJA….kita harus berteman…jangan, jangan dilawan, jangan ditentang, jangan disangkal….karena, kita memang tak pernah bisa menghindari semua yang kita sangkal…. KITA BERTEMAN SAJA....TEMAN TAPI MESRA....mesra nggak apa-apa, asal jangan sampai kita dikuasai semua itu....bagaimana saudara-saudara? Sudah bisa saya tinggal yah?! Silakan diteruskan kalau masih senang. Saya mau tidur lagi“ Ki Gemblung berjalan ke dalam rumahnya dengan senyum usilnya. Semua pengunjung mengikuti setiap langkahnya hingga hilang dibalik pintu. Mereka semua tertawa dan tersenyum puas. Semua berpeluh, semua saling tatap, mereka makin percaya kalau bapak tua tadi memang gemblung-segemblung-gemblungnya.

Thursday, January 05, 2006

Lia Eden, Kita Edan.

Semuanya kembali terjadi lagi. Begitu saja. Saya tak tahu detailnya. Tapi, saya yakin, semua terjadi persis sama. Seperti yang lalu-lalu. Ada segelintir orang yang kita anggap sesat, dan ada kita yang merasa diri besar dan benar. Ada orang-orang yang ditangkapi, dipukuli, dibakar rumahnya, dibakar tempat ibadahnya, dirajam bahkan dibunuh. Kita kelihatannya bisa menerima perbedaan. Padahal sama sekali tidak. Kita menyebut diri orang toleran yang punya toleransi sudah sangat besar. Padahal yang namanya toleransi tetap mengasumsikan diri kita punya kadar kebenaran tertentu. Kebenaran yang di satu titik tertentu tak bisa ditawar lagi. Saat itulah kita beraksi. Saat itulah kita menyatakan kebenaran kita. Tapi, seberapa benar sebenarnya kebenaran kita? Apakah kebenaran kita kebenaran yang sebenar-benarnya benar? Atau kebenaran yang kita benarkan sebagai yang benar-benar?

Mungkin saatnya kita berhenti bicara toleransi. Mungkin saatnya kita bicara apresiasi. Seperti mengapresiasi puisi. Kita bisa merasakan keindahan cara, gaya dan rasa dari kebiasaan atau doa dari orang-orang yang kita anggap beda dengan kita. Kenapa? Karena toh yang kita anggap lain itu ya dari Dia juga, ya Dia-Dia juga. Karena toh kebenaran itu tak bisa kita miliki, tak bisa kita usahakan. Kebenaran itu terjadi. Tentu saja kalau lainnya sudah sampai membakar, membunuh dan tindakan keji lainnya, kita tak bisa tinggal diam. Dan Dia pun tentu tak akan tinggal diam. HukumNYA yang penuh kasih tak pernah pilih kasih.

Saya memang mulai ragu tentang apa yang saya sebut-sebut sebagai kebenaran sejak kecil. Mungkin, kebenaran yang kita anggap kebenaran adalah kebenaran yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Bukan kebenaran itu sendiri. Mungkin selama ini, kita sudah merasa jkenyang waktu membaca Menu Lezat Kebenaran...tanpa pernah memakannya, tanpa pernah mengunyahnya sendiri. Dari kecil diteteki, sampai mau mati masih minta diteteki.

Mungkin seperti Guru saya bilang, mau atheis mau theis bisa saja sama ngawurnya, “Orang atheis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan. Sedang, orang theis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya." **

Guruuuu, sampeyan memang edaaaaaaan tenaaaaaaaaan.


(**penggalan Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello, Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)