Friday, September 29, 2006

di depan soekarno-hatta

senja mengiring langkah
sambil kutatap sosok
dua manusia dari batu
patung soekarno-hatta
dalam temaram yang terus meredup

bagaimana mungkin perempuan yang baru kutemui
di seberang monumen itu
bisa bilang, “saya tidak pernah suka politik!“
dia bisa atau aku yang tidak biasa
atau mungkin baginya politik hanya tinggal prasasti
hei bung, dengar itu
sekarang apa jawabmu?

(di dalam bis penjaja koran menjual edisi pagi
setengah harga berita utama: “Saya bersedia dipilih kembali“

(depok, 28 jan 98)

tentang kita

kemanakah perginya bayanganmu,
ketika hujan sore tadi
menghantar kembali gelisahku
yang panjang...
dimanakah butiran hujan itu kini,
ketika hendak kuhardik
karena interupsinya yang melankolis

(depok, okt 96)

puisi itu

telah lahir sebuah puisi
yang telah lama kukandung
sejak kusadar ada bulan menyinar malam
sejak kutahu teriknya sang surya
sejak hujan menyisakan nuansa tertentu
sejak masa yang kulupa kapan

telah lahir sebuah puisi
yang tak bersuara barang sekata
yang tak mendesahkan satu gumaman pun

ia lahir...
dan aku tak punya nama untuknya
karena tak kuasa aku atasnya

telah lahir sebuah puisi

lihatlah ke dalam mataku

(depok, 4 juli 94)

sajak segelas kopi dan sebatang rokok

segelas kopi barulah segelas kopi, bila hanya ada kau sendiri dan segelas kopi itu. dan, sebatang rokok baru bisa dipastikan sebatang rokok, bila hanya ada kau sendiri dan sebatang rokok itu. segelas kopi belum sempurna hakikatnya, bila belum ada sebatang rokok dan kau sendiri. Begitu pun, sebatang rokok belumlah sejati, bila tak ada segelas kopi dan kau yang sendiri. Kini, sempurna sudah...ada kau, sebatang rokok dan segelas kopi. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketujuh.

(depok, juli 98)

sajak tak berujung

(catatan perjalanan untuk seseorang)

saat jejak-jejak kita disapu debur ombak
apa sesungguhnya yang telah kita tinggalkan?
ketika merambah lebatnya rimba yang liar
siapakah yang sedang kita taklukkan?
dalam setapak yang disamar rimbun
apakah yang sedang kita jiarahi?
pada gunung-gunung ombak yang berlari ke pantai
detar apa yang sedang kita gumuli?
diantara bintang yang memahkotai purnama
siapakah yang sedang kita ajak bicara

pada binar matamu yang menatap langit
wahai gadis yang riang meningkahi anak-anak ombak
dimanakah ujung hasrat kisahmu?
dalam semua misteri yang kau simpan
wahai ujung kulon
dimanakah ujungnya ujung segala ujung?

(depok, sept 98)

sebuah jalan, suatu masa

suatu malam di suatu jalan
sebuah keluarga nyenyak mendengkur
sebelum tidur pemiliknya sempat bicara,
“lihatlah betapa tenang negeri ini”
di luar rumah itu panser dan serdadu
berjaga siap tembak
ketenteraman itu berlangsung dari tahun ke tahun

suatu siang di suatu jalan
orang-orang kocar-kacir
dengan mulut berdarah tanpa air mata, berkata
“dimana ketenangan di negeri ini?”
di sepanjang jalan panser dan serdadu
berbaris dan menghunus sangkur
kematian seperti hari itu sudah ada sejak dulu

suatu pagi dari setiap penjuru
semua kaki menuju rumah itu
hampir serempak mereka mendesis
“kita tegakkan lagi ketenangan di negeri ini”
barisan panser dan serdadu hancur lebur
rumah itu tinggal abu
di tengah kota penghuninya digantung
ada yang memotong jarinya untuk makanan anjing
yang paling tak tegaan
menyobek kulitnya untuk tambal celana
katanya, mereka tidak disidang
karena keadilan sudah mati sejak dahulu
mimpi tentang hari itu sudah menahun mereka rindu

(ditulis saat saya ulang tahun. kurang kerjaan banget sih. jakarta, 10 november 96)

Pengantar puisi stok lama

Dulu, sebelum ada komputer tentu saja saya seperti Anda dan orang lain yang suka puisi....menulis bait-bait puisi pada kertas. Kertas apa saja. Sedapatnya saja. Tergantung kapan dan dimana 'kesetrumnya'. Beberapa puisi beruntung tertulis di lembar bersih dalam cetakan mesik tik atau hasil ketikan program WS 2.

Beberapa puisi itu selama bertahun-tahun saya simpan dalam satu map. Sekarang, secara udah ada teknologi blog gitu looooh, ya saya simpan aja di ruang kosong ini.

Kenapa? Supaya saya selalu memiliki ruang kosong. Karena menulis puisi bisa jadi kegiatan membuang dan melepaskan rasa, yang setelah dilepaskan.... kita justru dipenuhi lagi kekosongan baru.

Ini sekedar pengantar beberapa puisi yang pernah saya tulis dan sempat tersimpan, yang saya suka tersenyum sendiri saat membacanya. Ini puisi saya. Ini protes saya. Ini proses saya.

Beberapa puisi pernah dibacakan oleh teman-teman satu kontrakan jaman mahasiswa saat ulang tahun saya yang kesekian (lupa tahunnya hehehehe) . Duduk melingkar di kontrakan bernama Wisma Ganteng. Nyaris kayak di film Dead Poet Society hehehehehe. Itu salah satu ulang tahun terindah saya. Ah, senangnya masa-masa itu....

Ah, sudah lama juga ya saya tidak menulis puisi...