Wednesday, October 18, 2006

Kitab Sableng.

Alkisah...
Konon pernah hidup seorang Pendekar Sableng. Tak pernah ada yang tahu pasti nama sebenarnya. Yang pasti dia sering terpekur memecahkan teka-teki angka yang diberikan gurunya. 212. Gurunya tak pernah menjelaskan lebih jauh tentang angka itu. Gurunya hanya menuliskan angka itu dipunggung tangannya, persis seperti saat kita menuliskan nomor telpon kenalan lama yang sudah lama tak bertemu. Itu pun kebiasaan jaman sebelum hape kayak kacang goreng seperti sekarang.

Gurunya hanya mengguratkan angka itu. Plus sedikit wejangan. “Aku gak mau jelasin maksudnya apa. Tapi ingat-ingatlah angka ini; bukan dua bukan satu menyatulah. Wong aku juga masih bingung. Makanya aku gendheng gini hueheheheheheheh”. “Dasar gila, ngomong sendiri, ketawa sendiri”, gumam si Pendekar dalam hati tentunya.

Bertahun-tahun kemudian barulah cercah demi cercah sinar nampak dibalik teka-teki angka itu. Anehnya, terang justru muncul dari ungkapan-ungkapan sableng. Susunan katanya yang sepertinya berlawanan tapi justru sangat berkawan. Awalnya membingungkan, tapi kemudian menenangkan. Inilah sebagian dari beberapa pencerahan-pencerahan itu. Beberapa adalah sabda-sabda bijak dari para bijak, baik yang namanya mau disebut maupun yang minta “off the record”.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka, biarlah di kitab ini tak disebut satupun nama mereka. Toh, buat mereka mulut mereka adalah perpanjangan dari sang Maha Sabda. Sang Keberadaan. Begitu sang pendekar berpesan.

Only when we can love hell, we will find heaven.
Manusia selamanya tak akan bisa hidup tenang selama pertentangan terjadi dalam dirinya. Seseorang bisa bilang tak ada pertentangan dalam dirinya. Dia merasa senang. Dia merasa sedang berusaha menikmati hidup dengan ikhlas sambil berharap kelak nanti ia bisa merasakan surgaNya. Di sinilah masalahnya. Justru dalam cita-cita ‘terbesar’ kita, kita tidak menyadari pertentangan.

Disebut terbesar karena cita-cita inilah yang paling pamungkas, yang melampaui alam kubur. Dari hidup ke dunia baka yang tak tahu apa. Surga ternyata hanyalah surga gagasan. Surga definisi. Begitu pun dengan neraka. Ada ribuan definisi tentang surga dan musuhnya si neraka itu.

Dari piyik hingga jadi oma-opa kita masih terus ditakut-takuti dengan kedua tempat ini. Kita bahkan tidak berani untuk sekedar menantang pikiran kita dengan berkata, “bagaimana kalau surga dan neraka tak pernah ada?”. Hanya sedikit dari kita yang berani bernyanyi seperti lagu Chrisye, “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut namaNya?” Hanya sedikit dari kita berani berdoa seperti sang murshid Rubiah, “Bukakanlah pintu nerakaMu lebar-lebar untukku jika aku hidup karena takut akan neraka. Tutuplah pintu surga rapat-rapat untukku bila aku berbuat demi memasuki nikmat surgaMu”.

Kita terbiasa memerangkapkan diri dalam zero sum game seperti ini. Hidup selalu dilihat seperti prinsip digital. 0 atau 1. Ada atau tak ada. Padahal mungkin hidup justru ada di keadaan antara ada dan tiada. Selalu soal menang kalah. Selalu soal punish and reward. Selalu always about iming-iming.

Memang lebih mudah berjalan ketimbang berhenti dan diam. Saat berjalan kita punya tujuan. Atau setidaknya ada yang dituju, apapun itu. Tak pernah kita berpikir untuk berjalan demi berjalan itu sendiri. Sang guru bilang, “Berhenti berjalan maka engkau akan sampai”. Huahahahahhaha. Ya iya lah yaaaaw. Kalau berhenti berjalan ya pasti sampai, ya pasti diam, ya pasti berhenti di tempat sampai. Atau sampai di tempat berhenti.

Bukan satu, bukan dua, tapi menerima keduanya. Menyatu dengannya.
Bukan surga, bukan neraka, tapi melampaui keduanya. Menyatu dengannya.



Tao yang bisa dijelaskan, bukanlah Tao yang sesungguhnya.
Sebagai makhluk dengan kesadaran sebagai spesies paling luhur dan berbudi pekerti, kita kerap mengandalkan pikiran, otak dan intelejensi. Semua harus bisa dimengerti. Semua harus jelas. Kita lupa bahwa banyak kesadaran baru, banyak pencerahan menemukan celahnya sendiri masuk dan menyatu menjadi bagian dari diri kita tanpa kita othak-athik gathuk dulu dengan olah pikiran. Kita terbiasa hanya bisa menerima sesuatu yang bisa terjelaskan dengan gamblang dan masuk nalar.

Dalam keseharian kita, kita sering dengan telunjuk kita diarahkan ke kepala sambil bilang, “pakai ini”. Kita terbiasa mengartikan sebagai 'pakai otak gitu looooh'. Padahal ada pemaknaan lain, bahwa dalam jenjang cakra manusia daerah kepala berhubungan dengan pencapaian kesadaran. Dan kesadaran tak harus sama dengan berpikir. Kesadaran boleh jadi lebih berupa penerimaan atas semua yang kita alami dan kita jalani dalam hidup.

“bukan..bukan...tuhan tidak seperti itu”

“wah kalau gitu jelas batal puasanya”

“Gak mungkin Yesus lahir dari perawan. Gimana pembuahannya?”

“ibadahnya gak akan diterima selama 30 hari”

“Inilah gereja yang paling mendekati teladan Yesus”

“dan seterusnya, dan seterusnya...bla bla bla bla”

Mungkin karena merasa ge er disebut paling berbudi, semua hal dipikirin oleh manusia. Jadinya gak nyantai. Gak kayak kebo yang asik aja makan rumput. Gak seperti cicak yang gak sombong bisa nangkap nyamuk meski si cicak gak punya sayap. Gak seperti magma gunung yang ikut arus aja dan pasrah aja meski letusannya menghancurkan satu kabupaten.


Bukan satu, bukan dua, tapi menerima keduanya. Menyatu dengannya.
Yang bisa dijelaskan, yang masih misteri, terimalah semua. Menyatulah dengannya.



Matilah dalam hidup, hiduplah dalam mati
Memangnya kita punya pilihan lain? Kalo gak hidup ya mati. Kalo gak mati ya hidup. Atau hidup dengan keduanya. Atau hidup dengan menerima keduanya. Atau mau pilih hidup segan mati tak mau?

Dunia memang aneh. Manusia memang aneh. Ada yang mematikan diri dibilang mati beneran. Ada yang mati malah dibilang bener-bener hidup. Ada yang hidup malah disangka orang mati.

Ada yang untuk hidup malah menghidup-hidupkan hidupnya yang sebenarnya sudah mati. Ada juga yang malah merasa hidupnya dimatikan orang lain, memang bisa dimatikan?

Ada juga yang memikirkan mati semasa hidup supaya semasa mati nanti diberi hidup baru. Ada juga yang memikirkan hidup sesudah mati padahal tidak pernah mikirin hidup sebelum mati.

Ada yang minta mati padahal masih hidup. Ada yang sudah mati tapi gentanyangan merasa dirinya masih hidup. Ada yang berpesan kalau nanti setelah mati didandanin seperti semasa ia masih hidup.

Hidup. Mati. Hidup. Mati. Hidup. Mati.

Mungkin kita hidup bukan sekali. Mungkin kita mati bukan sekali. Mungkin juga kita hidup dan mati ternyata baru sekali. Siapa peduli!

Hari ini kita mungkin mati. Mungkin besok hidup lagi. Siapa peduli.

Inilah hidup. Nikmatilah. Terimalah hidup dan mati bersamaan. Mungkin tak terasa kita sudah mati semasa masih hidup.

Bukan satu, bukan dua, tapi menerima keduanya. Menyatu dengannya.
Bukan hidup, bukan mati, tapi melampaui keduanya. Menyatu dengannya.


Belum rampung mungkin bersambung
Masih ada beberapa catatan tercecer dari kitab sableng itu. Si pendekar sableng memang sok pintar. Otaknya terus diperas memecahkan beberapa koan-koan zen dari para guru bijak.

Sambil mengangkat satu kakinya di cafe itu, lagaknya lebih mirip otak-atik togel ketimbang mencari pencerahan. Huehahahahaha. Dasar sableng. Gurunya gendheng.