Wednesday, May 07, 2008

How Crazy Are You?














Crazy People.


Directed by Tony Bill
Produced by Thomas Brand, Robert K. Weiss
Written by Mitch Markowitz
Starring: Dudley Moore, Daryl Hannah, Paul Reiser,
Cinematography Victor J. Kemper
Editing by Mia Goldman
Distributed by Paramount Pictures
Release date(s) April 13, 1990 (USA)
Running time 91 min.



Semalam di HBO secara gak sengaja akhirnya saya sempat juga menonton film seru ini. Saya sudah pernah dengan tentang film ini dalam obrolan di milis dan rekomendasi teman-teman. Seperti juga film ‘What woman wants?”, film ini juga saya suka karena alasan yang sama yaitu karena bersetting tentang dunia periklanan.


Singkat kata, film ini bercerita tentang Emory Leeson (Dudley Moore), seorang copywriter yang karena hidupnya kacau balau mempengaruhi ide dan karyanya di kantor. Mendadak ide-idenya jadi gak karuan dan gila. Idenya gamblang, apa adanya dan keluar dari pakem-pakem iklan yang ada. Misalnya naskah iklan untuk Volvo; “Volvo: They're boxy, but they're good.” Atau iklan wisata untuk Greece, “Forget France. Come to Greece - we're nicer.” Pokoknya ide dan copynya sangat jujur bahkan sarkastik. Rekan dan bossnya tentu saja tak setuju dengan idenya. Ia lalu dibawa ke rumah sakit jiwa untuk menenangkan diri.


Ternyata karena salah sangka, ide-ide gila si Emory tadi dicetak di media massa. Dan secara tak terduga ternyata khalayak suka. Khalayak merespon positif ide-ide dan pesan iklan tersebut. Klien happy, boss biro iklan itu happy dan Emory pun diminta pulang dari rumah sakit jiiwa itu. Ternyata si Emory yang tidak happy karena ia mulai senang dengan kehidupan bersama teman-temannya yang gokil.


Sebagai jalan tengah akhirnya di rumah sakit jiwa itu Emory dan teman-teman gokilnya bekerja bersama sebagai tim kreatif biro iklan tempat Emory bekerja. Mereka brainstorming bersama untuk ide-ide beragam merek yang mereka tangani. Tanpa mereka sadar, ide-ide gila dari orang-orang gila tersebut ternyata ‘gokil abis’ alias di luar pakem, tapi gamblang dan sangat jujur. Dan ternyata ide mereka disenangi oleh khalayak pembaca media di Amerika. Iklan-iklan karya mereka diantaranya; iklan tentang New York “Come to New York, there were fewer murders than last year.”, iklan untuk Porche ” Porche, it's a little too small to get laid in... but you get laid the minute you get out.”


Di ujung fim diceritakan kalau Emory dan teman-teman gokilnya akhirnya memutuskan untuk membuat biro iklan sendiri dan menangani merek seperti Sony. Dan bagaimana mereka membuat iide untuk Sony? Bagaimana ide gila mereka mencoba mengangkat kehebatan merek yang dibuat di Jepang yang orangnya pendek-pendek? Ide mereka adalah seperti ini “karena orang Jepang pendek maka mereka bisa membuat barang elektronik dengan ketelitian lebih dibanding pabrik-pabrik elekronik buatan bangsa bule yang tinggi-tinggi.” Karena pendek, perhatian pada detil jadi lebih presisi. Headline Sony yang mereka ciptakan berbunyi, “Sony. Because caucasians are just too damn tall.” Gokil. Namanya juga orang gila yah heheheheh.


Yang menarik dari film ini adalah bagaimana ide-ide yang gila, yang menurut ukuran orang iklan (yang ngakunya paling tahu iklan dan beriklan) sangat tidak masuk akal, aneh, dan terlalu apa adanya ternyata sangat diterima oleh khalayak. Orang iklan umumnya sepakat dengan David Ogilvy yang bilang kalau target kita (khalayak) bukanlah orang-orang bodoh. Tapi pada prakteknya orang iklan sering memperlakukan targetnya sebagai orang bodoh; dianggap gak intelek, dianggap gak bisa diajak bercanda yang cerdas, dinilai sederhana jadi cukup disuguhi ide-ide yang standar, datar dan tidak menarik.


Agar menarik, iklan memang perlu ide-ide gila. Kalau perlu, seperti yang diilhami film ini, iklan dikerjakan oleh orang-orang gila. Lho gak apa-apa juga tokh? Khan orang-orang iklan juga sudah cukup gila dengan pikirannya bahwa ide-ide iklan mereka mampu mempengaruhi benak orang. Mampu membuat orang membeli ini dan itu. Tokh khalayak juga suka bersikap gila dengan merespon ‘berlebihan’ ide-ide yang menurut ukuran orang iklan adalah biasa aja atau bahkan norak.


Film ini menarik untuk yang suka humor, atau apalagi buat orang iklan. Meski tempo filmnya sama dengan film terkenal Dudley Moore sebelumnya “Arthur”. Lamban, banyak dialog, khas film era lapan-puluhan banget.


Film ini punya pesan sisipan yang sangat jelas buat orang iklan kayak saya; “how crazy are you today?”

Kata, Kebenaran dan Kontak















Tanpa pikir panjang, tolong jawab pertanyaan saya dengan cepat. Tolong berjanji untuk tidak berpikir terlalu lama. Ok? Siap? Jangan baca bahasannya dulu. Cobalah menjawab dulu. Ini bukan soal benar atau salah koq. Silakan…


“Anda ikut dalam sebuah lomba lari. Anda menyalip orang di posisi nomor dua. Sekarang Anda ada di posisi berapa?”



Coba cek jawaban Anda. Jika Anda menjawab NOMOR SATU, Anda SALAH BESAR! Tidak percaya? Coba baca lagi jawabannya, cobalah simulasikan. Jika Anda menyalip orang nomor dua, sekarang Andalah yang ada di posisi NOMOR DUA! Itulah yang sering terjadi pada kita. Kita terjebak kata. Kita terjebak permainan kata.



Saya telah menulis dan Anda sedang membaca. Saya menulis apa yang saya rasa dan saya pikir menjadi KATA. Anda membaca apa yang tersurat dan tersirat dalam bahasa kata yang Anda kenal. Semua ini adalah dunia kata-kata. Kalaupun apa yang saya katakan benar, kebenaran kata-kata saya hanyalah kebenaran kata-kata. Apakah dia merupakan kebenaran sejati? Anda tidak bisa tahu atau Anda tak mau tahu. Saya? Saya juga tak mau tahu apakah ada kebenaran sejati dalam kata-kata saya. Lihatlah, rasakanlah, betapa mudahnya saya terjerembab dalam permainan kata. Permainan kebenaran kata.



Tapi, dalam hal kebenaran saya percaya bahwa kebenaran sejati itu tidak tergantung pada siapa yang mengatakannya sebagai benar. Kebenaran sejati tidak tergantung pada seberapa banyak orang yang menganggapnya benar. Kebenaran sejati tidak akan jatuh dalam kehinaan meski seluruh dunia mencaci maki dan menistakannya. Kebenaran sejati secara lahir dan batiinya telah menyandang kebesarannya sendiri.



Dulu, satu dunia menista Galileo Galilei. Dia dicap salah serta sesat karena tidak menempatkan Matahari sebagai pusat tata surya. Maklum dunia yang validitas kebenarannya ditentukan oleh gereja saat itu masih percaya pada paham Bumi-sentris alias seluruh semesta berporos pada Bumi. Dia bahkan dikucilkan dari komunitas keagamaan setelah disidang pada Juli 1633. Apakah Galileo memegang kebenaran? Mungkin juga dia saat itu tidak tahu. Mungkin juga kaum gereja yang melaknatnya tidak tahu. “Kebenaran saat ini bukanlah berarti kebenaran saat nanti. Kebenaran bukanlah kenyataan”, begitu kata lirik salah satu lagu band Dewa. Tapi yang pasti, kenyataanlah yang kita terima sebagai kebenaran yang nyata.



Tidak penting apakah Galileo kemudian terbukti benar dengan pemikirannya (dan baru setelah berabad-abad gereja mengakui dan merehabilitasi nama Galileo). Tidak terlalu penting juga kalau kemudian dunia menjulukinya bukan saja sebagai Bapak Astronomi Modern dan Bapak Fisika Modern, tapi bahkan sebagai Bapak Sains. Saking pentingnya Galileo, Michael H. Hart memasukkannya sebagai salah satu orang dari seratus orang terpenting dalam bukunya (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) yang berjudul “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”. Yang pasti, bumi memang terbukti sebagai sesuatu yang berbentuk bulat.



Kebenaran adalah kata yang benar-benar menakutkan. Begitu kata itu terucap, maka lawannya dalam samar maupun tegas akan muncul atau dihadirkan. Kebenaran dan kesesatan. Dulu waktu masih anak ingusan, saya senang sekali mendengar kotbah kesaksian tentang seorang muslim yang pindah menjad Kristen. Menjadi Kristen saat itu, buat saya, adalah kebenaran yang membebaskan orang dari kesesatan. Sampai akhirnya saya ‘dibagunkan’ dan menyadari betapa sia-sianya kepercayaan saya itu. Betapa sia-sianya rasa senang saya mengetahui orang seseorang yang pindah ke keyakinan saya. Sejak saat itu mau satu dunia ini pindah agama ke mana pun saya tidak peduli.



Kebenaran itu, lucunya, bisa sangat menakutkan karena justru ada segelintir orang yang merasa diri berhak menjadi penentu apa yang disebut ‘kebenaran’ dan mana yang dicap ‘kesesatan’. Mengapa? Karena mereka juga berbicara dalam kebenaran sebagai kebenaran kata-kata. Bisa jadi mereka benar-benar BENAR. Tapi apa peduli saya, karena toh mereka bisa saja “nanti” terbukti benar-benar SALAH. Ada dimensi waktu di sini dan dia bernama ‘nanti’.



Menarik menyimak dialog dari film yang saya suka; Contact. Film dari buku Carl Sagan arahan Robert Zemeckis dan dibintanyi oleh Jodie Foster dan Matthew McConaughey ini dalam ceritanya menyuguhkan dialog antara pendeta Palmer Joss (diperankan Matthew McConaughey) dan ilmuwan Dr. Eleanor Ann Arroway (atau Ellie yang diperankan Jodie Foster). Sebagai ilmuwan Ellie menuntut pembuktian atas suatu klaim (bahkan yang tidak ilmiah sekalipun). Tapi ada hal-hal yang pembuktiannya sulit mengikuti pola pembuktian ilmiah. Kita tidak bisa menunjukkan buktinya dan bagaimana pembuktiannya, tapi kita yakin kita punya buktinya.



Palmer Joss: Did you love your father?

Dr. Eleanor: What?

Palmer Joss: Your dad. Did you love him?

Dr. Eleanor: Yes, very much.

Palmer Joss: Prove it.




Potongan dialog ini saya kutip bukan untuk mengatakan bahwa dalam hal keagamaan atau religi kebenaran memang punya wajah yang berbeda dengan hal-hal yang fisikal, dunia dan profan. Tapi, dialog ini menarik untuk menunjukkan bahwa kebenaran sejati (seperti unconditional love anak pada bapaknya atau sebaliknya) tidak bisa dibuktikan dengan KATA. Dalam hal-hal tertentu memang kita harus relakan biarlah waktu yang menjadi penentu ‘benar’ atau ‘tidak’-nya sesuatu. Itupun kalau penting sekali hal itu dibuktikan kebenarannya.



Kata berguna untuk mengantar kita pada kesamaan identifikasi, seperti dalam hal kata ‘hijau’ untuk menunjuk pada suatu warna yang kemudian disepakati sebagai ‘hijau’. Kita bisa sama sepakatnya kalau kita sama-sama punya mata yang sehat. Kita bisa sepakat bahwa ‘Hijau’ adalah Hijau. Tapi bagaimana dengan yang buta warna? Atau bahkan, bagaimana dengan yang buta total sama sekali. Dalam hal sepele seperti ini saja terlihat kelemahan dari kekuatan KATA.



Saya dibesarkan dalam tradisi Kristen dari suku Batak Toba yang cukup kental. Namun ketika putri saya yang berumur 5 tahun lebih bertanya tentang perkara-perkara agama dan Tuhan, saya memilih berhati-hati dalam menjawabnya. Saya lebih memilih diam ketimbang berusaha menjawab secara kristiani. “Mengapa Tuhan tidak turun dari surga ke dunia saja?”, “Bagaimana Tuhan tahu tentang segala sesuatu?”, “Bagaimana orang mati kembali ke Tuhan?”, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya sungguh-sungguh menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar. Saya tak mau menjawabnya dengan terburu-buru. Bisa saja saya jawab sekenanya, atau saya jawab berdasarkan pengetahuan yang saya terima dari keluarga, sekolah atau gereja. Tapi, apakah itu jawaban yang terbaik?



Saya tidak ingin putri saya menjadi dogmatis nantinya. Saya sudah banyak melihat anak-anak yang masih kecil-kecil tapi bicara dalam bahasa orang dewasa tentang perkara agama dan ketuhanan. Saya sudah lihat di film dokumentasi bagaimana sikap dogmatis yang keterlaluan dari kaum Taliban di Afganistan telah menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah peradaban Buddhisme yang pernah mewarnai wilayah Afganistan. Tak satu pun patung utuh sang Buddha yang tersisa di sana.



Kembali ke Galileo, keistimewaan dan keteladannya sebagai ilmuwan adalah pada sikap ingin tahunya yang besar. Ia tidak menerima begitu saja satu dalil yang kadung diterima sebagai kebenaran tanpa membuktikannya sendiri. Misalnya, tentang dalil Aristoteles yang mengatakan bahwa benda yang lebih berat jatuh lebih cepat dibanting benda yang lebih enteng. Galileo memutuskan menguji langsung dalil yang ditelan mentah-mentah oleh para ilmuwan selama berabad-abad. Bayangkan selama beradad-abad. Ternyata setelah membuktikan sendiri dengan menjatuhkan benda-benda berbeda dari Menara Pisa, Galileo sampai pada kesimpulan yang kini diterima sebagai dalil oleh semua ilmuwan. Kesimpulan percobaanya adalah, baik benda berat maupun ringan akan jatuh pada kecepatan yang sama. Pengecualian pada dalil itu adalah sampai batas benda-benda itu berkurang kecepatannya akibat terjadinya pergeseran udara. Terasa sekali Galileo secara sungguh-sungguh melakukan kontak dengan kenyataan. Bisa jadi Galileo telah mengalami kontak dengan Kebenaran Sejati dalam pencarian ilmiahnya. Siapa tahu?


Sejujurnya, kegelisahan saya yang pastilah terasa dalam tulisan yang panjang ini dikarenakan suatu kenyataan menyesakkan yang ada di depan mata saya. Belakangan dalam kehidupan kita sebagai bangsa, kita sedang menyaksikan rekan dan saudara sebangsa kita dari kelompok Ahmadiah sedang dianiaya atas nama kebenaran. Dengan atas nama kebenaran, mereka dicap sesat dan secara jelas dan nyata dianiaya, dibakar rumah dan mesjidnya. “Kebenaran bukanlah kenyataan”, begitu kata lirik Dewa yang saya kutip di atas. Kebenarannya apakah Ahmadiah secara hakiki sesat atau tidak bukanlah kenyataan. Dibuktikan dengan dalil seperti apapun, dengan ayat manapun atau dengan argumentasi bagaimanapun, kebenarannya tidak pernah menjadi sesuatu yang sejati. Betapa menyedihkan. Tidakkah kita sadari, kita sedang menzalimi saudara kita sendiri di rumah kita sendiri. Mereka dizalimi atas dasar apakah? Kata? Kebenaran?

Friday, April 18, 2008

Tawa di atas bukit

(Cerita ketiga seri ceceran kisah sepanjang Bogor-Jakarta)

Bukit itu selalu saya lalui dalam perjalanan saya ke dan dari kantor. Bukit yang aneh sekaligus bikin kangen. Sudah lama juga saya tidak naik ke bukit itu dan menengok ulah pemilik rumah tua di atas bukit itu. Ya, Ki Gemblung. Terakhir kali kabar tentang aki-aki itu saya dengar dari seorang teman yang sudah jauh-jauh datang Bandung bahkan sampai bolos kerja segala tapi pulang dengan tangan hampa. Bukannya ketemu malah cuma dengar suara orang tertawa nggak jelas. Teman saya tanya apa mungkin tawa itu semacam mantra ajaib? Tentu saja saya jawab; entahlah.

Jadi begini cerita teman saya itu. Siang itu saat matahari sedang puanas-puaaanasnya, seorang pria yang mengaku dirinya pencari kedamaian datang ke rumah Ki Gemblung. Saat ditemui, Ki Gemblung sedang minum kopi tubruk panas dan sepotong kue gemblong. Ki Gemblung yang tinggal di satu daerah perbukitan itu namanya memang sudah santer terdengar seantero kelurahan, kecamatan hingga bus antar propinsi. Ki Gemblung bahkan mulai sering dicari orang-orang yang terlibat Pilkada. Entah apa hubungannya dan entah apa yang mereka hendak cari.

Pria yang berwajah lugu itu garis mukanya mengingatkan siapapun yang melihatnya pada sosok wayang. Wajah ksatria genk Pandawa tentunya. Pria yang berdandan parlente, rapih dan necis dengan kemeja putih itu memang lumayan berjodoh hari itu, karena biasanya tidak mudah ketemu Ki Gemblung. Kadang, kita mau kita bisa ketemu. Tapi kalau kita gak mau pun kita bisa ketemu. Yang paling apes adalah mereka yang sudah ngebet pingin ketemu eh malah blas gak ketemu batang hidungnya sama sekali.

Soal susah ketemu itu, bahkan orang sampai berkelakar begini tentang Ki Gemblung, “Duh Ki Gemblung itu udah kayak polisi aja…. dicari gak ada, pas gak dicari eh dia malah datang”. Tentu saja Ki Gemblung gak akan ngerti arti kelakar itu. Maklum dia gak hobi naik mobil. Kalau pun naik mobil udah pasti dia nebeng mobil seseorang. Dan kurang ajarnya lagi, sudah pasti dia akan tidur selama perjalanan.

Nah karena merasa beruntung, terlihat pria itu bersemangat sekali. Pria itu sepertinya bukan calon peserta Pilkada, bukan pula mau cari jodoh (lha wong tampang ganteng gitu masak sulit cari jodoh...gak mungkin lah ya), dan tentunya bukan mau totok aura. Pria necis itu datang untuk dijelaskan tentang sesuatu. "Saya akan bertahan di bukit ini sampai saya dapat pencerahan itu!", tegasnya dengan mata berbinar.

“Pak Aki…Pak Ki…. Ki… manggilnya apa sih? Ah whatever lah. Begini yah, saya ini jauh-jauh datang sungguh-sungguh ingin mengalami pencerahan, ingin mancapai kebijaksanaan. Sudah banyak buku saya baca, sudah bertahun-tahun saya melakukan tapa brata, sembahyang dan semadi, posisi teratai-posisi pisang-posisi doggie style juga sudah, plus sudah puluhan guru, pendeta, romo, biksu sampai dosen yang saya temui”, tegas pria itu mantap.

Ki Gemblung menyeruput tetesan terakhir kopinya dengan kue gemblong masih di mulut “Hmm vaages vaages (maksudnya 'bagus..bagus')…. Gleeek.... jarang saya ketemu orang bersemangat macam sampeyan. Begini aja deh, sebelum saya bantu, coba…. coba yah… Coba kamu jelaskan dulu yang kamu tahu tentang apa itu hakikat kehidupan?” sahut Ki Gemblung tenang.

“Hhhmmm, hakikat kehidupan adalah sebuah perjalanan dimana karma kita menentukan hidup seperti apa yang akan kita jalani. Dalam hidup ini antara jiwa dan raga harus harmonis akan tercipta kedamaian. Karena dengan begitulah kita bisa mengalami surga yang sejati, sekarang juga selagi kita masih hidup,” jelas si pria tanpa ada satu kata pun mengalir tanpa keyakinan yang mantap. Ki Gemblung bertepuk tangan kegirangan, “Ck ck ck… bukan main!”
Si pria hidungnya kembang kempis bangga. Tapi lalu Ki Gemblung menantangnya, “Tapi bro, itu sih jawabannya para professor yang pintar-pintar itu. Kalau jawabanmu sendiri bisa lebih pendek gak?”

Pria yang tertantang pun menjawab, “Hakikat hidup adalah sebuah perayaan dari satu kesatuan keberadaan dalam semesta ini”
Ki Gemblung bertepuk tangan kencang, “Bravo bravo….. Tapi itu juga masih bahasanya guru-guru spiritual. Coba dong, gw mau dengar jawaban loe sendiri. Yang singkat dan padat saja. Ok? Siakan.”Kembali si pria menjawab tak kekurangan kata. Berpikir kilat, ia menerangkan, “Satu kata saja yah. Ok. Hidup adalah dharma”.

Tapi ternyata Ki Gemblung tetap saja bertepuk tangan, “Ya iya laaaah, masak ya iya dong. Itu juga masih jawabannya master-master Zen yang suka sok aneh-aneh itu. Ngerti gak sih permintaan saya? Yang saya mau dengar adalah jawabanmu yang paling jujur... apa itu hakekat hidup?”
Tiba-tiba, si pria terdiam menatap Ki Gemblung dengan penuh rasa riang. “Lho jangan liatin saya….jawab dong”, sahut Ki Gemblung sambil melotot mendekat sampai nyaris menempel jidat mereka berdua.

Si pria itu kini hanya tersenyum tersipu lalu mulai tertawa terkekeh-kekeh. Entah kenapa dia kehilangan daya untuk berpikir. Dia kehilangan stock kata-kata. Yang terasa hanya dorongan tersenyum dan bahkan tak terasa ia pun mulai tertawa.
Ki Gemblung pun ikut terkekeh-kekeh sambil membombardir terus dengan bertanya, “Huahahahah…heh jangan ketawa aja dong. Jawab dong huahahahahaha….woy….jawab woy…yang singkaaaaaat aja….please dong ah. Heheheheh huahahahahahaha”

Matahari meredup panasnya. Iring-iringan awan gemawan menaungi area perbukitan yang di salah satu rumahnya ada dua manusia yang sedang tertawa bersama. Mereka tidak sadar, atau lebih tepatnya tidak peduli kalau ternyata sudah ada belasan orang di teras rumah yang menunggu mereka berhenti tertawa. Mereka juga berniat ketemu Ki Gemblung. Mendengar tawa mereka, belasan orang (termasuk teman saya yang jauh-jauh dari Bandung itu) bingung mana diantara keduanya yang bernama Ki Gemblung. Jawaban atas pertanyaan mereka baru jelas, setelah sore hari pemudah berkemeja putih dengan lekuk wajah seperti wayang berbagi cerita pada belasan orang itu tentang apa yang terjadi di dalam rumah itu.

Wednesday, February 20, 2008

Awal sebuah jawaban benar adalah ...

Kemarin teman saya ujug-ujug ngasih satu soal rumit begini (jadi ingat soal matematika cerita jaman SMA dulu);

Soal cerita:
Ada 3 orang cowok jalan-jalan dan kemudian memutuskan untuk bermalam di satu hotel. Hotel murah. Tarifnya Rp. 30.000 rupiah per malam. Akhirnya ketiganya sepakat patungan masing-masing 10 ribu rupiah. Ternyata, nasib mereka sedang mujur. Mereka dapat diskon Rp. 5.000. Uang diskon itu langsung diberikan kepada mereka melalui room boy. Mereka memutuskan memberi tip buat room boy itu Rp. 2.000. Sementara sisanya dbagi rata; Rp 1.000.
Nah begini ceritanya; Ingat-ingat kan kalau mereka patungan Rp. 10.000? Nah karena diskonnya dikembalikan ke mereka masing-masing Rp. 1.000, berarti mereka cuma bayar Rp. 9.000. Sedangkan si room boy dapat Rp. 2.000. Nah anehnya gini;
Rp. 9.000 X 3 orang =Rp.27.000
Rp. 27.000 + Rp. 2.000 (dikasih ke room boy) = Rp. 29.000
Lho koq? Kalau uang awal mereka bersama adalah Rp. 30.000, koq sekarang cuma Rp. 27.000. Kemana seribu rupiah lagi lenyapnya?

Coba pikirkan dulu jawabannya…

Coba terus… Saya juga penasaran sekali dengan soal ini.

Coba dulu jawab…jangan nyontek kunci jawabannya dong…

Baca lagi soalnya. Saya juga perlu beberapa kali kembali ke soal untuk menemukan jawabannya.

Sudah? Sudah ketemu jawabannya? Yakin? Sudah ketemu seribu peraknya lari kemana?

Tolong baca kunci jawaban saya setelah Anda benar-benar berusaha menjawabnya….janji yah….

Kunci jawaban:
Jawaban atas soal di atas adalah; emang gw pikirin. Beneran lho. Memang jawabannya; emang gw pikirin. Kenapa? Karena soal di atas memang memberi pertanyaan menipu. Kita digiring seolah-olah uangnya masih ada pada ketiga pemuda itu. Padahal uang Rp. 25.000 (setelah dipotong diskon Rp. 5000) sebenarnya sudah berpindah ke kasir hotel. Alias, uang ketiga pemuda itu dalam transaksi tersebut (selain yang di dompet tentunya) adalah masing-masing dapat; Rp. 1.000. Kalaupun uang mereka dijumlahkan dengan uang yang dikasih ke si room boy, maka jumlahnya adalah Rp. 5.000. Dan kalau angka itu dijumlahkan dengan uang yang masuk ke kasir, maka jumlahnya adalah tepat seperti uang patungan ketiga pemuda tadi….Rp.30.000.

Moral of the story? Seringkali, kita menerima suatu masalah atau pertanyaan begitu saja. Tanpa diolah, langsung ditelan. Kalau meminjam istilah teman saya Diki Satya; (maaf sebelumnya) makan nasi beraknya juga nasi. Harusnya kan nggak.

Saat menghadapi satu masalah, saat membantu brand-brand dari klien kita, saat kita menghadapi satu brief untuk suatu kampanye iklan, kita sering melupakan satu langkah penting dan terpenting; BERTANYA. Ya, bertanya. Bukan sekedar bertanya. Bukan asal bertanya tentunya. Tapi, BERTANYA DENGAN BENAR. Karena hanya dari PERTANYAAN YANG BENAR akan terlahir JAWABAN YANG BENAR.

Tuesday, February 12, 2008

Hati-hati dengan singkatan!

Photobucket

Coba deh perhatikan...ada yang ingat gak ini logo apa? Betul! Jadi ingat lagu; naik kereta api tut tut tut ... siapa hendak naik? Nah sekarang, lihat lagi...ada yang salah gak dengan logo ini? Betul lagi, namanya! Ada yang tau kenapa tidak ditulis 'kereta api'? Karena hasil browsing ternyata di Malaysia juga disingkat seperti ini. Logo ini ada dimana-mana lho. Terakhir saya lihat logo ini di sebuah neon box di Stasiun Bogor. Waktu saya lihat logo ini malam itu di Bogor saya jadi teringat apa yang saya lihat beberapa tahun lalu. Enam atau tujuh tahun lalu, saat saya mampir di Stasiun Solo Balapan. Waktu itu beberapa petugas memakai kaos bertuliskan; Keretapi Indonesia. Dengan sistem baca saya yang kadang pakai aksen Batak, maka yang terbaca seolah menjadi...Kere Tapi Indonesia. Hehehehe memang orang Indonesia hebat. Tetap bangga akan apa yang dimilikinya. Kere koq bangga yah?

Balik ke pertanyaan saya di awal; sebenarnya memang Keretapi atau Kereta Api? Dan kalau disingkat Keretapi darimana yah asal-usulnya?