Friday, April 18, 2008

Tawa di atas bukit

(Cerita ketiga seri ceceran kisah sepanjang Bogor-Jakarta)

Bukit itu selalu saya lalui dalam perjalanan saya ke dan dari kantor. Bukit yang aneh sekaligus bikin kangen. Sudah lama juga saya tidak naik ke bukit itu dan menengok ulah pemilik rumah tua di atas bukit itu. Ya, Ki Gemblung. Terakhir kali kabar tentang aki-aki itu saya dengar dari seorang teman yang sudah jauh-jauh datang Bandung bahkan sampai bolos kerja segala tapi pulang dengan tangan hampa. Bukannya ketemu malah cuma dengar suara orang tertawa nggak jelas. Teman saya tanya apa mungkin tawa itu semacam mantra ajaib? Tentu saja saya jawab; entahlah.

Jadi begini cerita teman saya itu. Siang itu saat matahari sedang puanas-puaaanasnya, seorang pria yang mengaku dirinya pencari kedamaian datang ke rumah Ki Gemblung. Saat ditemui, Ki Gemblung sedang minum kopi tubruk panas dan sepotong kue gemblong. Ki Gemblung yang tinggal di satu daerah perbukitan itu namanya memang sudah santer terdengar seantero kelurahan, kecamatan hingga bus antar propinsi. Ki Gemblung bahkan mulai sering dicari orang-orang yang terlibat Pilkada. Entah apa hubungannya dan entah apa yang mereka hendak cari.

Pria yang berwajah lugu itu garis mukanya mengingatkan siapapun yang melihatnya pada sosok wayang. Wajah ksatria genk Pandawa tentunya. Pria yang berdandan parlente, rapih dan necis dengan kemeja putih itu memang lumayan berjodoh hari itu, karena biasanya tidak mudah ketemu Ki Gemblung. Kadang, kita mau kita bisa ketemu. Tapi kalau kita gak mau pun kita bisa ketemu. Yang paling apes adalah mereka yang sudah ngebet pingin ketemu eh malah blas gak ketemu batang hidungnya sama sekali.

Soal susah ketemu itu, bahkan orang sampai berkelakar begini tentang Ki Gemblung, “Duh Ki Gemblung itu udah kayak polisi aja…. dicari gak ada, pas gak dicari eh dia malah datang”. Tentu saja Ki Gemblung gak akan ngerti arti kelakar itu. Maklum dia gak hobi naik mobil. Kalau pun naik mobil udah pasti dia nebeng mobil seseorang. Dan kurang ajarnya lagi, sudah pasti dia akan tidur selama perjalanan.

Nah karena merasa beruntung, terlihat pria itu bersemangat sekali. Pria itu sepertinya bukan calon peserta Pilkada, bukan pula mau cari jodoh (lha wong tampang ganteng gitu masak sulit cari jodoh...gak mungkin lah ya), dan tentunya bukan mau totok aura. Pria necis itu datang untuk dijelaskan tentang sesuatu. "Saya akan bertahan di bukit ini sampai saya dapat pencerahan itu!", tegasnya dengan mata berbinar.

“Pak Aki…Pak Ki…. Ki… manggilnya apa sih? Ah whatever lah. Begini yah, saya ini jauh-jauh datang sungguh-sungguh ingin mengalami pencerahan, ingin mancapai kebijaksanaan. Sudah banyak buku saya baca, sudah bertahun-tahun saya melakukan tapa brata, sembahyang dan semadi, posisi teratai-posisi pisang-posisi doggie style juga sudah, plus sudah puluhan guru, pendeta, romo, biksu sampai dosen yang saya temui”, tegas pria itu mantap.

Ki Gemblung menyeruput tetesan terakhir kopinya dengan kue gemblong masih di mulut “Hmm vaages vaages (maksudnya 'bagus..bagus')…. Gleeek.... jarang saya ketemu orang bersemangat macam sampeyan. Begini aja deh, sebelum saya bantu, coba…. coba yah… Coba kamu jelaskan dulu yang kamu tahu tentang apa itu hakikat kehidupan?” sahut Ki Gemblung tenang.

“Hhhmmm, hakikat kehidupan adalah sebuah perjalanan dimana karma kita menentukan hidup seperti apa yang akan kita jalani. Dalam hidup ini antara jiwa dan raga harus harmonis akan tercipta kedamaian. Karena dengan begitulah kita bisa mengalami surga yang sejati, sekarang juga selagi kita masih hidup,” jelas si pria tanpa ada satu kata pun mengalir tanpa keyakinan yang mantap. Ki Gemblung bertepuk tangan kegirangan, “Ck ck ck… bukan main!”
Si pria hidungnya kembang kempis bangga. Tapi lalu Ki Gemblung menantangnya, “Tapi bro, itu sih jawabannya para professor yang pintar-pintar itu. Kalau jawabanmu sendiri bisa lebih pendek gak?”

Pria yang tertantang pun menjawab, “Hakikat hidup adalah sebuah perayaan dari satu kesatuan keberadaan dalam semesta ini”
Ki Gemblung bertepuk tangan kencang, “Bravo bravo….. Tapi itu juga masih bahasanya guru-guru spiritual. Coba dong, gw mau dengar jawaban loe sendiri. Yang singkat dan padat saja. Ok? Siakan.”Kembali si pria menjawab tak kekurangan kata. Berpikir kilat, ia menerangkan, “Satu kata saja yah. Ok. Hidup adalah dharma”.

Tapi ternyata Ki Gemblung tetap saja bertepuk tangan, “Ya iya laaaah, masak ya iya dong. Itu juga masih jawabannya master-master Zen yang suka sok aneh-aneh itu. Ngerti gak sih permintaan saya? Yang saya mau dengar adalah jawabanmu yang paling jujur... apa itu hakekat hidup?”
Tiba-tiba, si pria terdiam menatap Ki Gemblung dengan penuh rasa riang. “Lho jangan liatin saya….jawab dong”, sahut Ki Gemblung sambil melotot mendekat sampai nyaris menempel jidat mereka berdua.

Si pria itu kini hanya tersenyum tersipu lalu mulai tertawa terkekeh-kekeh. Entah kenapa dia kehilangan daya untuk berpikir. Dia kehilangan stock kata-kata. Yang terasa hanya dorongan tersenyum dan bahkan tak terasa ia pun mulai tertawa.
Ki Gemblung pun ikut terkekeh-kekeh sambil membombardir terus dengan bertanya, “Huahahahah…heh jangan ketawa aja dong. Jawab dong huahahahahaha….woy….jawab woy…yang singkaaaaaat aja….please dong ah. Heheheheh huahahahahahaha”

Matahari meredup panasnya. Iring-iringan awan gemawan menaungi area perbukitan yang di salah satu rumahnya ada dua manusia yang sedang tertawa bersama. Mereka tidak sadar, atau lebih tepatnya tidak peduli kalau ternyata sudah ada belasan orang di teras rumah yang menunggu mereka berhenti tertawa. Mereka juga berniat ketemu Ki Gemblung. Mendengar tawa mereka, belasan orang (termasuk teman saya yang jauh-jauh dari Bandung itu) bingung mana diantara keduanya yang bernama Ki Gemblung. Jawaban atas pertanyaan mereka baru jelas, setelah sore hari pemudah berkemeja putih dengan lekuk wajah seperti wayang berbagi cerita pada belasan orang itu tentang apa yang terjadi di dalam rumah itu.