(Cerita pertama seri ceceran kisah sepanjang Bogor-Jakarta)
Mendung bukan hal aneh di tempat ini. Bukan hal aneh bagi kota yang katanya kota hujan ini. Hujan rintik, hujan tanpa mendung, hujan sehari semalam, hujan semenit, hujan dahsyat yang merontokkan pohon-pohon besar peninggalan jalur Anyer-Panarukannya Daendles, semua jenis hujan pernah aku rasakan. Mungkin karena hujan ini, cintaku pada kota ini sedikit pun tak pernah kering. Seperti juga hujan pagi ini, hujan sisa semalam. Hujan yang tak deras tak rintik yang bisa bertahan hingga siang nanti.
Di tempat ini, tempat yang akan melepaskan warga kotanya pergi ke kota lain. Kota tetangga yang jauh lebih besar, kota yang tak sesepi kotaku bila malam mulai larut. Entah sudah berapa lama aku menikmati pemandangan seperti ini. Orang-orang yang tergesa menaiki bis sambil melirik jam tangan, tapi sesampai di dalam bis hanya bisa pasrah. Karena, bis-bis di sini hanya akan berangkat dengan 2 cara. Satu, kalau bis sudah benar-benar penuh sampai ada yang berdiri. Kedua, kalau petugas terminal sedang galak memerintahkan bis untuk berangkat meski bis baru terisi setengah.
Atau sebaliknya, aku menyaksikan orang-orang yang begitu bebas, yang tak pernah menengok jam tangan mereka. Dengan santai membeli koran dulu, merokok di pintu bis, naik bis lalu melanjutkan baca korannya. Santai sekali. Sebagian dari mereka memakai seragam karyawan kantor departemen. Aku ingin kerja seperti mereka.
Aku kenal hampir semua wajah yang keluar dan masuk terminal ini. Beberapa bahkan aku kenal namanya siapa, dimana kerjanya, rumahnya di sebelah mana kota ini. Aku bahkan tahu persis perubahan wajah mereka dari hari ke harinya. Bagaimana wajah mereka saat berangkat naik ke bis di Jumat pagi. Wajah mereka saat bis keluar terminal Senin pagi. Bagaimana wajah Kang Abdu yang sumringah pasti semalam dapat ‘jatah’ dari istrinya. Bagaimana wajah Teh Anti yang dengan rambut keriap basah berjalan merunduk naik ke dalam bis dan akan terus seperti itu sampai ia turun dari bis lagi malam harinya. Aku pikir, Teh Anti persis kebalikannya Kang Abdu. Aku berpikir, Teh Anti yang murung begitu pasti harus kasih ‘jatah’ buat suaminya semalam.
Sebenarnya aku tak tahu persis. Tapi, godaan untuk menerka-menerka dan membayangkan apa yang terjadi pada orang-orang yang hampir setiap hari aku temui memang begitu besar. Ya, aku nyaris kenal mereka semua. Tentu saja. Kota ini hanya kota kecil saja. Dan aku... aku hanyalah salah satu wajah yang harus mereka temui setiap hari di terminal ini. Wajah lecekku, dandanan lucuh dengan gitar seadanya dan suara sekenanya.
Aku hanyalah salah satu dari sekian orang yang setiap pagi mereka nafkahi lima ratus atau seribu rupiah untuk menemani mereka tidur sepanjang perjalanan yang tanggung ini. Tidak lama, dibilang singkat pun tidak. Tidak jelas sekali sebenarnya, mereka tidur karena suaraku, karena suara mesin yang lebih besar dari suaraku, atau karena sekedar tertidur oleh kebosanan hidup yang tak terhindarkan.
Kadang aku ingin bisa hidup semapan mereka, tapi lebih sering merasa takut menatap wajah-wajah mereka saat tertidur pulas dalam bis. Lebih sering aku merasa kasihan.
Mendung bukan hal aneh di kota ini. Suara dan tampangku bukan hal aneh buat pengunjung rutin terminal ini. Dan seperti pagi lainnya, aku membuka pertunjukkanku di sebuah bis dengan menyanyi serak sebuah tembang Ebiet,
“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.....“