Thursday, January 05, 2006

Lia Eden, Kita Edan.

Semuanya kembali terjadi lagi. Begitu saja. Saya tak tahu detailnya. Tapi, saya yakin, semua terjadi persis sama. Seperti yang lalu-lalu. Ada segelintir orang yang kita anggap sesat, dan ada kita yang merasa diri besar dan benar. Ada orang-orang yang ditangkapi, dipukuli, dibakar rumahnya, dibakar tempat ibadahnya, dirajam bahkan dibunuh. Kita kelihatannya bisa menerima perbedaan. Padahal sama sekali tidak. Kita menyebut diri orang toleran yang punya toleransi sudah sangat besar. Padahal yang namanya toleransi tetap mengasumsikan diri kita punya kadar kebenaran tertentu. Kebenaran yang di satu titik tertentu tak bisa ditawar lagi. Saat itulah kita beraksi. Saat itulah kita menyatakan kebenaran kita. Tapi, seberapa benar sebenarnya kebenaran kita? Apakah kebenaran kita kebenaran yang sebenar-benarnya benar? Atau kebenaran yang kita benarkan sebagai yang benar-benar?

Mungkin saatnya kita berhenti bicara toleransi. Mungkin saatnya kita bicara apresiasi. Seperti mengapresiasi puisi. Kita bisa merasakan keindahan cara, gaya dan rasa dari kebiasaan atau doa dari orang-orang yang kita anggap beda dengan kita. Kenapa? Karena toh yang kita anggap lain itu ya dari Dia juga, ya Dia-Dia juga. Karena toh kebenaran itu tak bisa kita miliki, tak bisa kita usahakan. Kebenaran itu terjadi. Tentu saja kalau lainnya sudah sampai membakar, membunuh dan tindakan keji lainnya, kita tak bisa tinggal diam. Dan Dia pun tentu tak akan tinggal diam. HukumNYA yang penuh kasih tak pernah pilih kasih.

Saya memang mulai ragu tentang apa yang saya sebut-sebut sebagai kebenaran sejak kecil. Mungkin, kebenaran yang kita anggap kebenaran adalah kebenaran yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Bukan kebenaran itu sendiri. Mungkin selama ini, kita sudah merasa jkenyang waktu membaca Menu Lezat Kebenaran...tanpa pernah memakannya, tanpa pernah mengunyahnya sendiri. Dari kecil diteteki, sampai mau mati masih minta diteteki.

Mungkin seperti Guru saya bilang, mau atheis mau theis bisa saja sama ngawurnya, “Orang atheis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan. Sedang, orang theis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya." **

Guruuuu, sampeyan memang edaaaaaaan tenaaaaaaaaan.


(**penggalan Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello, Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)

8 comments:

Anonymous said...

Apresiasi, bukan sekedar toleransi: bisa banget.

Tapi gue dulu juga sempet kepikiran: teritori...

[sori ambigu; belom mateng analisisnya ^_^']

Nicolo D'Albergati D. Ch. said...

...in the end the only truth a man will see is the one he choose to believe in...

tul ga? tul... tul... tul...

Panata Harianja (Jaja) said...

Hi Fer, makasih dah mampir. Gw juga belon nangkep soal teritori loe itu. Kalo bisa jangan kelamaan ambigu Fer, nanti bisa bikin ambein..hehehehe.

Nic, makasih juga dah mampir. Anda betul sekali. Tapi Nic, gw kalo your choice sama my choice beda, gimana?

dikisatya said...

Gila lu, Ja!
Sekalinya posting bikin monyong bibir baca kata bulak balik lu. Artinya bisa bikin puyeng pula.
Sokil Gob. Sokiiiiiiiiiiiil!!!!

anak kampung said...

Toleransi.
Mungkin itu yang agak gue inget.

Teman pernah bilang, toleransi hanya diberikan oleh Mayoritas pada Minoritas.
Tidak sebaliknya.

Thanks Gar, loe udah inspiring gue buat nulis soal Toleransi ini.

Salam.

irehadi said...

kata marx, agama itu candu...

Panata Harianja (Jaja) said...

Dik, mending mana ayo? bulak-balik kata atau kros sana kros sini?

Rin, dalam hal satu ini gw nggak setuju sama Marx. Tau apa dia soal agama??! Cuma musisi gondrong nggak jelas! Richard Marx kan maksud loe?? :))))

Nicolo D'Albergati D. Ch. said...

"...and those who say otherwise will face againts his might..."

yang ini sama komen g sebelumnya g kutip dr satu puisi yang pernah g tulis pas jaman SMA. somehow it relates to your posting.