Wednesday, May 03, 2006

Banyak-banyaklah berdoa demi Indonesia, karena....

Pada sebuah malam, pada sebuah saluran televisi, pada sebuah acara debat publik, seorang ustad masih saja ber’sabda’ bahwa tindakan anarkis mereka yang menyerbu kantor redaksi Playboy Indonesia adalah satu pilihan sikap yang harus bisa diterima dan harus dimaklumi. Percayalah, dia bukan pemuka agama pertama yang mengamini dengan santai tindakan amuk massa seperti itu.

Pada suatu petang, pada sebuah saluran televisi, pada sebuah acara berita, dua pimpinan daerah dua partai memaklumi kemarahan massa partainya yang mengamuk lantaran calonnya kalah di pilkada. Setelah sekian gedung dibakar, keduanya bilang “kalau semua saluran sudah tertutup ya mau apalagi?” Percayalah, mereka adalah orang kesekian kali dalam kurun sekian waktu yang masih saja memainkan politik anarkis.

Pada suatu saat nanti, suatu tempat nanti, suatu peristiwa seperti kejadian di atas mungkin terulang. Dan akan ada orang-orang yang dengan dengan santai mengulang pemakluman yang sama...

4 comments:

Anonymous said...

Wah Ja... gue juga lagi eneg enegnya nih
ama "budaya maklum" bangsa kita...

maklum maklum terus yah kapan majunya...

Anonymous said...

Manusia lapar adalah manusia buas

itu bukanlah sesuatu untuk dimaklumi

atau ditakuti.

(lantas diapakan? Dipelajari? Dimengerti? Diamati? Diacuhkan agar kelak kita Dimakan-nya?)

...

Tau deh Ja, antropolog amatiran pun ku bukan, apalagi filsuf; tapi nggak enak aja kalo gue abis baca tulisan sedalam tulisan lu trus gue ngga' nanggepin apa-apa. Sori Bos kalo gue lancang...

(semoga gue tetep diizinkan belajar lebih banyak lagi dari elo, setelah sekian banyak yang udah gue pelajari dari elo)

---

To Mbak Al: ngikutin RSS via Bloglines ya? :p

Panata Harianja (Jaja) said...

Alia, gw udah reply langsung di blog kamu yah. Ternyata Alia sudah memuntahkan eneg-enegnya. Tulisannya bagus.

Ferdi, betul Fer, karena lapar banyak orang mau dibayar atau sekedar dijanjikan makanan untuk berbuat rusuh, anarkis dst. Contoh? Terlalu banyaklah. Trus Fer, sebenernya gak perlu jadi antropolog atau filsuf atau profesor buat mengerti dan menghindari hal-hal kayak gitu...jadi manusia biasa yang mencoba tetap waras kayak kita gini aja udah cukup koq.

anak kampung said...

Gue masih inget sekitar 7 tahun lalu, temen loe yang sekarang jadi pejabat partai bilang, ngomong soal hal yang sama.

Gue rasa ada juga yang berpikiran; kalau pun ada korban jiwa, itu bukan satu masalah.