Wednesday, January 26, 2005

Anting seorang laki-laki.

(Tulisan ini dibuat 24 Maret 2004 dan dimuat di majalah Herworld edisi April 2004.)


Beberapa minggu terakhir ini, beberapa media massa nasional sempat menurunkan tulisan perihal lelaki Metroseksual. Waktu pertama saya baca kata metroseksual, langsung terlintas beberapa pertanyaan; macam apa pula ini? Apa ini sebutan untuk orientasi seks bukan hetero bukan homo? Atau soal perilaku seksual terkini manusia metropolitan? Atau tentang posisi seks yang sedang ngetrend? Ternyata bukan sama sekali. Metroseksual ternyata sebuah terminologi baru untuk menyebut kecenderungan ‘penampilan oriented’ di kalangan pria. Dengan berbagai atribut, dari yang branded dan mahal sampai barang boleh nemu di pasar loak, dan pengatuaran mix and match yang pas, seorang lelaki bisa berdandan ‘serewel’ perempuan. Rambut mengkilat, rajin creambath, rajin facial dan rajin belanja baju, sepatu dan berbagai aksesoris, agar bisa tetap tampil selalu up to date. Kalau perlu mereka yang jadi trend setter.

Ada kebaruan dalam istilah ini, karena sebelumnya yang dapat cap tukang dandan itu perempuan. So, seperti terlihat di pusat-pusat perbelanjaan dan mal sekarang semakin banyak lelaki berdandan well prepared. Lelaki tidak lagi identik dengan dandanan ala kadarnya atau urakan. Kalau urakan sekalipun, urakan mereka didisain sedemikian rupa hingga menjadi sebuah fashion statement yang mencerminkan siapa mereka. Dan anting, merupakan satu aksesoris yang banyak mereka gunakan.

Nah, dalam soal anting inilah saya punya cerita konyol. Beberapa tahun lalu, saya dan dua teman kantor saya di sebuah biro iklan pergi ke blok m mall buat nindik kuping. Agak ketinggalan jaman sebenarnya buat saya, karena beberapa teman sudah menindik kupingnya sejak sma dulu. Tapi, saya menindik kuping memang bukan dengan alasan teman sma saya itu. Yang di tahun 80an cowok menindik kuping dan memasangkan anting lebih untuk menunjukkan kemachoannya. Sedang sekarang, anting nyaris sekedar aksesoris yang lebih menunjukkan pilihan fashionnya.

Beberapa bulan lalu, saya hadir dalam sebuah pertemuan keluarga untuk mempersiapkan perkawinan seorang sepupu. Btw, saya berasal dari suku Batak dan dibesarkan dalam nilai-nilai yang menempatkan laki-laki dengan peran yang begitu tinggi dalam kehidupan orang Batak. Bagi keluarga saya sangat jelas perbedaan lelaki dan perempuan. Dan bagi mereka, lelaki tidak memakai anting. Nah, sebelum datang ke acara itu saya sempet kepikiran ide iseng. Apa kira-kira reaksi mereka kalau saya datang pakai anting (anting bulat kecil yang sebenernya sudah lama juga tidak saya pakai). Dan tepat seperti dugaan saya, mereka melihat saya dengan tatapan aneh. Bahkan seorang tante saya sempat menyuruh saya melepaskan anting itu sambil mengelus keras pipi saya yang rasanya lebih mirip tamparan.

Urusan beranting ria, yang merupakan salah satu cabang saja dari body piercing, sebenarnya bukan barang baru baik untuk perempuan maupun lelaki. Memasang anting di puting, bahkan dilakukan prajurit Romawi jaman dahulu untuk memamerkan keberaniannya. Untuk urusan anting kuping, sebenarnya telah digunakan para pelaut sejak djaman dahoeloe yang dipercaya mampu memperjelas penglihatannya. Makanya, kalau kita nonton film pelaut dan bajak laut beranting bukan beranting sekedar buat gagah-gagahan sebenarnya. Gak tau juga, bagaimana proses biologisnya anting yang berayun-ayun di daun kuping bisa ada faedahnya buat mata. Ya mungkin, itu tadi...namanya juga kepercayaan. Bahkan, penelitian antropologis dan arkeologis menyimpulkan bahwa anting merupakan aktifitas body piercing tertua untuk keperluan magis. Masyarakat primitif jaman itu percaya bahwa kekuatan iblis paling senang masuk melalui telinga. Dan mereka percaya, anting dari bahan metal mampu menangkal roh-roh jahat memasuki kuping mereka. Sejarah juga mencatat banyak lelaki ternama juga menggunakan anting di kuping mereka. Dari Shakespeare sampai Julius Caesar yang dimasanya bahkan anting kuping lebih populer di kalangan pria dibanding wanita.

Kembali ke jaman sekarang, ear piercing seperti juga tatoo bukan lagi sesuatu yang berkonotasi preman-premanan. Kalaupun ada preman pakai tatoo atau anting, boleh jadi mereka tergolong pria modis yang kebetulan saja menempuh jalur hidup preman. Untuk urusan tatoo, bahkan sempat di era 80-an (kalo nggak salah) ada gerakan menghapus bahkan men-strika tatoo. Pria baik-baik dan preman terpaksa melakukannya lantaran ada penembak-penembak misterius (yang kemudian ngetop dengan istilah petrus) yang mengincar preman-preman yang sialnya hampir selalu bertatoo. Dan kalaupun ada yang menganggap saya preman karena beranting, ya anggap saja sebagai bentuk pertahanan diri. Siapa tahu copet atau penodong membatalkan niatnya gara-gara calon korbannya beranting.

Anting sudah menjadi mode yang dilakukan hampir di semua tempat. Dari anak SMP sampai kalangan dewasa banyak yang beranting. Dengan uang tak sampai 20 ribu, saya bisa menindik kuping saya (atau bagian tubuh saya lainnya) dengan alat berbentuk seperti pistol plus anting starter. Tahan sakit sebentar, semenit kemudian Anda akan menjadi seorang yang baru. Kita bisa pilih anting yang besar, yang kecil, anting jepit, anting kenot yang berbentuk lurus, bisa dari perak, platina atau emas, bias polos atau dengan batu-batuan. Dan, sebagai bagian dari penampilan anting itu bisa dipasang dan dilepas sesuka kita. Tapi apapun pilihannya, higienitas harus dijaga. Malu juga khan, niatnya mau gaya malah korengan. Balik, ke cerita keluarga saya. Saya cukup ngeh juga, bahwa se-ngetrend apapun, se-modis apapun, ternyata kita masih hidup dalam masyarakat transisi. Istilah metroseksual mungkin masih dipahami dan diapresiasi hanya oleh segelintir orang. Kita masih hidup bersama dengan masyarakat luas yang mungkin belum menganggap anting sebagai fashion statement. Tapi, saya pikir juga, shock terapi buat masyarakat yang sedang berubah pun perlu sesekali dilakukan. Shock terapi, seperti adegan ciuman dalam film Ada Apa Dengan Cinta buat masyarakat yang terbiasa dengan film indonesia yang menyuguhkan adegan ciuman yang tidak tulus, palsu. Atau seperti, Kartini yang berani menujukkan pada masyarakatnya masa itu bahwa perempuan pun perlu pendidikan. Jadi, saya pikir-pikir lagi mau bikin heboh apalagi ya kalau ketemu keluarga saya tercinta itu. Mungkin laen kali saya datang dengan rambut dicat...hmmm ide menarik.

1 comment:

Ferdi Z said...

kalo self-defence gue adalah rambut.... mungkinkah rambut Ismet (dulu) juga pertahanan diri? (/me wishing to have witnessed the 'KritGon' phenomenon...)