(Sekedar sebuah latihan menulis. Ditulis 20 April 2004. Berawal dari stimuli sebuah situs tentang menulis, "Write a mini-story (100 to 250 words) that begins with: "They had nothing to say to each other." Hasilnya? Cerita klise kosong dengan lebih dari 400 kata...susah juga yah nulis itu)
"Tak satu pun kata terucapkan diantara mereka...” Ruangan itu menghadirkan kesunyian yang terlalu sunyi, yang nyaris ideal bagi sebuah peristiwa bernama; kematian. Tangan ibu yang telah seluruh rambutnya telah memutih itu terasa mulai kaku. Entah telah berapa lama menumpang di tangan putrinya yang terbaring diantara bunyi denyut nadinya yang terasa bagai teror bagi ibu itu.
Senja itu adalah senja ke-14 yang telah mereka lewati bersama dalam ruang serba putih yang nyaris membuat sang ibu bercahaya ketika sesekali keluar ruang ICU itu. Cerlang, sang putri, yang terbaring diambang sakratul sesekali menyungging senyum. Entah yang terlintas di benaknya. Sang ibu dan seluruh keluarganya sudah tak peduli lagi apa dan bagaimana pengobatan terbaik bagi penyakit Cerlang. Bahkan kata penyakit rasanya sudah tak ada lagi dalam kosa kata orang-orang yang datang menengok Cerlang. Cerlang, suatu saat..entah di detik atau menit keberapa, akan meninggalkan mereka. Air mata juga sudah kering entah sejak hari keberapa. Doa pun tinggal mengalir dalam setiap desah orang-orang seusai menatap wajah Cerlang.
“Kau tak akan mengerti kalaupun kujelaskan selengkap mungkin apa yang diderita Cerlang.” Singkatnya, kujelaskan padanya, bahwa otak Cerlang sedang digerogoti oleh oksigen, sesuatu yang bagi orang kebanyakan justru merupakan pendukung utama bagi kerja otak. Ketika kita berpikir kita perlu lebih banyak oksigen masuk ke otak. Sedang Cerlang.... Untuk sadar kerja otaknya perlu dirangsang, yang ironisnya justru akan mempercepat kematiannya.
“Mau kemana kau?” sentakku pada Bismo. “Tidak kemana-mana. Merokok, tidak boleh?”, desahnya sambil mengusapkan tangan di mukanya sendiri. Di hisapan pertama rokoknya terasa ia ingin menelan semua resah hatinya. Bismo terlalu bodoh dalam urusan bersandiwara. Airmatanya tak bisa ia sembunyikan. Mungkin, airmata itu sudah dibawanya sejak dari Jayapura hingga koridor RS Cikini ini. Aku sempat khawatir ketika mengabari soal keadaan Cerlang. Karena, begitu aku selesai menceriterakan, dengan cara yang sehalus dan setenang mungkin, aku tak mendengar lagi suaranya. Baru tadi ia mengaku, bahwa saking tak kuatnya ia langsung jatuh pingsan. Aku dan Bismo adalah sahabat terdekat Cerlang. Dulu sekali, kami pernah diam-diam jatuh cinta pada Cerlang. Aku dan Bismo sama-sama tahu, sekaligus sama-sama diam-diam dan sekaligus sama-sama mengubur hasrat itu demi persahabatan diantara kami bertiga.
Langit terlihat mendadak terang dari semburat jingga sebelumnya. Tiba-tiba, pintu terbuka dan muncul ibunda Cerlang dengan senyum terindahnya sejak 14 hari aku menemaninya di rumah sakit ini. “Cerlang tadi pesan; Sekarang aku mau jalan-jalan dulu. Titip pesan sama Bismo dan Rendra ya Ma, bilang sama mereka aku sebenarnya mau kawin dengan salah satu dari kalian asal yang satunya lagi rela”. Aku dan Bismo langsung mememuk ibu Cerlang. Tangisan tanpa airmata tersisa.
Kado Untuk Indonesia
8 years ago
No comments:
Post a Comment